Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.
Sebagaimana telah kita singgung diatas, bahwa Kristus sendiri telah mengatakan bahwa: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18). Dari apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus Kristus ini yaitu alam maut tidak akan menguasainya”, itu jelas menunjuk pada artian bahwa selama Gereja itu ada dan ada di jagad ini, maka tantangan dan problematika yang dihadapi oleh Gereja itu selalu ada dan tidak pernah berhenti, namun tantangan dan problematika itu tidaklah pernah menjadikan Gereja itu hancur dan musnah sama sekali. Dan untuk lebih jelasnya tantangan apakah yang dihadapi oleh Gereja Perdana itu ?
Sebagaimana telah kita singgung diatas, bahwa Kristus sendiri telah mengatakan bahwa: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat 16:18). Dari apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus Kristus ini yaitu alam maut tidak akan menguasainya”, itu jelas menunjuk pada artian bahwa selama Gereja itu ada dan ada di jagad ini, maka tantangan dan problematika yang dihadapi oleh Gereja itu selalu ada dan tidak pernah berhenti, namun tantangan dan problematika itu tidaklah pernah menjadikan Gereja itu hancur dan musnah sama sekali. Dan untuk lebih jelasnya tantangan apakah yang dihadapi oleh Gereja Perdana itu ?
A. Tantangan yang dihadapi Gereja pada abad
1 sampai dengan 4
Pada abad-abad awal dalam
Sejarah Gereja Perdana ini, banyak orang Kristen mengalami aniaya dan tidak
sedikit orang percaya yang terbunuh karena Imannya. Suatu misal pada tahun 64
Masehi ketika zaman pemerintahan kaisar Nero yang pada zaman itu pula St.
Petrus dan St. Paulus mati terbunuh, banyak orang Kristen yang dikejar-kejar
dan dianiaya. Sifat penganiayaan itu bersifat sporadis, suatu misal di
disebelah Timur Mesopotamia yaitu ketika berada dibawah kekaisaran Agung
Persia, banyak orang Kristen yang dianiaya karena cemburu pendeta-pendeta Agama
Zoroaster, yaitu agama resmi Persia terhadap orang percaya, sementara di Roma
sendiri Agama Krtisten dianggap sebagai “agama yang tak resmi” atau “Religio Illicita”,
serta orang-orang percaya dianggap sebagai :
Atheisme: karena mereka tak menyembah dewa kafir
Romawi-Yunani, sehingga mereka dianggap tak berdewa atau ber- Tuhan.
Kanibalisme: karena kebiasaan orang Kristen dalam setiap
pertemuan Ibadah selalu makan daging dan minum darah seorang bayi.
Imoralitas dalam Kebaktian: Karena orang Kristen dalam
Setiap kali pertemuan Ibadah selalu mengatakan “Cium Kudus” , yang oleh orang
kafir hal ini dianggap telah melakukan perzinahan sumbang yaitu perzinahan
sesama saudara. Hal seperti ini tentu saja telah menimbulkan rasa takut dan
benci di kalangan orang kafir terhadap orang Kristen.
Sementara dari pihak
pemerintah, karena orang Kristen menolak memberikan kemenyan di depan patung
Kaisar sebagai tanda loyalitas terhadap Kaisar yang dianggap sebagai “Dominus et Deus“, penolakan
orang percaya memberi kemenyan pada patung kaisar, karena dalam pemandangan
orang percaya hanya Kristuslah sebagai “Dominus” itu. Dan karena penolakannya itulah maka orang
Percaya dianggap sebagai Pembangkang politik yang membahayakan, karena mereka
mempunyai loyalitas terhadap Raja lain yaitu Kristus “Sang Dominus” itu.
Para Bapa Gereja yang mati
teraniaya dan sahid pada abad-abad ini adalah Ignatius dari Antiokia, pengganti
ketiga dari Rasul Petrus di Antiokia, Syria sebagai Episkop (110 Masehi),
Polikarpus Episkop dari Smirna mati teraniaya dibawah Kaisar Marcus (l66
Masehi) dan Yustinus Sang Suhada.
Dan juga perlu ditandaskan
disini, bahwa abad-abad awal ini banyak sekali bermunculan tulisan mengenai
Kristus, yang mana tulisan ini disebut sebagai “Apokrifa” (jangan dikacaukan dengan “Anaginoskome” dari Perjanjian
Lama) serta tulisan-tulisan “Pseudopigrafa“.
Biasanya tulisan-tulisan itu memakai nama salah satu dari Para Rasul dan
memasukkan dongeng-dongeng aneh mengenai masa kecil Kristus, kehidupan Perawan
Maria dan kegiatan-kegiatan karya Para Rasul. Dan sebagian dari tulisan-tulisan
ini, menjadi bagian kisah dalam Kitab Suci Al-Quran terutama mengenai kisah
masa kecil Tuhan Kita Yesus Kristus, dan bersama dengan itu muncul pula aliran
“Gnostikisme” yaitu
suatu bidat yang mengubah ajaran Kristen seperti ajaran kebatinan. Dan dalam
rangka melawan pengajaran ini, Gereja menyebut ajaran Rasuliah ini sebagai
ajaran yang “Orthodox”
yang berasal dari kata “Orthos”
yang artinya benar atau lurus dan “Doxa”
yang berarti penyembahan atau ajaran, jadi kata Orthodox ini bukan berarti kolot namun “penyembahan
yang lurus atau pengajaran yang lurus benar”, dan sebagai lawan Orthodox adalam
Heterodox. Dan akibat
dengan banyaknya ajaran palsu dan Gnostik inilah, maka para Apologist dan Bapa
Gereja menekankan pentingnya “suksesi Rasuliah” dan bersama itu pula
tulisan-tulisan mana yang dianggap oleh Gereja bisa menjadi bahagian dalam
kanon Kitab Suci.
Tulisan-tulisan yang bisa
dimasukkan dalam kanon itu harus :
- Berasal dari zaman Para Rasul.
- Ditulis Para Rasul sendiri atau teman/murid dekat mereka
- Sesuai ajaran Rasuliah tanpa putus sebagai paradosis dalam Gereja
- Digunakan secara merata di seluruh Gereja awal
- Harus mengajarkan kesucian dan bukan dongeng-dongeng gnostik.
Dan berdasarkan seleksi yang
dilandaskan atas persyaratan diatas, maka surat-surat yang dapat dimasukkan
kedalam kanon Kitab Perjanjian Baru itu hanya ada 27 Surat atau Kitab.
Menginjak pertengahan abad
ketiga ini, penganiayaan besar-besaran terhadap orang percaya juga terjadi,
suatu misal pada tahun 249 ketika Kaisar Decius naik tahta, kaisar ini
mengadakan penganiayaan terhadap orang Percaya secara universal, dan
penganiayaan ini dilanjutkan oleh Kaisar Valerianus (253-260). Dalam
penganiayaan ini, orang percaya dipaksa mempersembahkan korban kepada patung
kaisar sebagai “Tuhan dan Illah”, para rohaniwan harus dikejar dan dibunuh,
harta benda Gereja harus disita. Dan baru setelah anak Valerianus naik tahta
dan berdiri sebagai Kaisar, maka penganiayaan terhadap orang Kristen
dihentikan. Dengan berhentinya penganiayaan ini Gereja berkembang secara luar
biasa, namun akibat penganiayaan itu telah mengakibatkan krisis besar di dalam
Gereja.
Mengapa? karena bagi mereka
yang pada saat penganiayaan itu mau dengan rela mempersembahkan korban pada
patung kaisar, selalu dipertanyakan. Ada yang memperbolehkan masuk Gereja
kembali, dan ada yang tidak memperbolehkan serta orang-orang ini disebut
sebagai kaum “Lapsi”.
Disisi lain pada abad ini
muncul lagi bidat “Montanisme” yang didirikan oleh “Montanus”, dimana Montanus
mengajarkan karunia lidah, nubuat-nubuatan dan Kerajaan Seribu tahun akan
segera datang di pulau Frigia, Asia Kecil. Pembela Agung Gereja saat itu adalah
Js. Kiprianus dari Karthago dan meninggal pada tahun 258. Dia meninggal sebagai
Martir setelah membela Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katolik dan melawan
aliran garis keras yang memisahkan diri dari Gereja karena masalah “lapsi”.
Aliran yang dilawan itu adalah aliran “Novatianisme” yang didirikan oleh
“Novatianus” yang berada di Roma. Dan Novatianus ini menyebut alirannya sebagai
“Gereja yang murni”. Kiprianus membela Gereja Rasuliah Orthodox dan
Katolik itu dengan menekankan perlunya “mata rantai Rasuliah” dalam ajaran dan
“mata rantai Rasuliah” dalam pentahbisan para Episkop. Dan Kiprianuslah
yang mengatakan “Extra Ekklesia Nulla Salus Est ” artinya diluar Gereja yaitu
diluar persekutuan kongkrit dari umat yang percaya secara pribadi pada Kristus
dibawah pimpinan rohani Episkop yang berlandaskan suksesi Rasuliah disekitar
meja Perjamuan Kudus dan pemberitaan Firman oleh Presbyter, tidak ada
keselamatan. Pada abad ketiga ini dapat kita saksikan adanya perkembangan yang
luar biasa, karena adanya pendirian Sekolah Theologia di Alexandria, Mesir yang
dipelopori oleh Pantaenus dan Klemen dari Alexandria (yang meninggal kira-kira
tahun 215), yang kemudian Sekolah Theologia ini di handle atau dipegang-kepalai
oleh seorang penulis, sarjana dan theologia termasyur Origenes (meninggal pada
tahun 253). Yang menjadi penekanan pada theologia Alexandria ini bahwa
filsafat Yunani yang non-kristen itu dapat digunakan sebagai alat untuk
menjelaskan Kitab Suci. Dan ciri khas pendekatan Alexandria ini adalah tafsiran
secara alagoris terhadap Kitab Suci, sedangkan dalam Tradisi Syria Antiokia
yang tak lama kemudia akan berkembang adalah pendekatan secara harafiah
berdasarkan tata bahasa dan sejarah penulisan Kitab Suci. Kedua Pendekatan
ini akhirnya akan bertemu dalam konflik pada abad-abad berikutnya.
Karya Origenes ini sangat luar
biasa dan tak terhitung jumlahnya. Dialah yang pertama kali mengadakan kajian
Sistematis dan sastrawi dari buku-buku dalam Alkitab. Dan Karya Origenes ini
akan menjadi fondasi karya-karya theologia para bapa Yunani pada abad-abad
berikutnya, namun demikian secara ajaran banyak pendapat Origenes yang ditolak
oleh Gereja, karena tak Alkitabiah dan tak Rasuliah, sehingga pada konsili
Ekumenis ke V (tahun 553), beberapa ajaran Origenes dinyatakan sesat oleh
Gereja. Diantara pakar-pakar theologia abad ke 3 yang harus disebutkan bersama
dengan, Kiprianus, klemen, dan Origenes adalah Dionysios dari Alexandria (wafat
265), Hippolytus dari Roma (wafat 235), Gregorius Pelaku Mujizat dari
Kappadokia (wafat 270) dan Methodios dari Olympus (wafat 311). Orang-orang
inilah yang memperekembangkan theologia Kristen terutama yang meletakkan dasar
bagi pembahasan Tritunggal Mahakudus.
Pada abad ke 4 dimulai dengan
penganiayaan yang paling besar yang diarahkan pada Gereja oleh kaisar
Diokletianus. Daftar Syuhada atau Martyr yang paling panjang berasal dari abad
ini. Setelah surutnya Diokletianus, terjadilah perebutan kekuasaan dalam
kerajaan Romawi. Pada tahun 312, Konstantinus menghadapi peperangan melawan
Maxentius dan sebelum terjadi peperangan di jembatan Milvianus di Roma,
Konstantinus berdoa, serta mendapat penglihatan Salib bersinar di langit dengan
tulisan “Dengan tanda ini, kalahkan”. Kemudian dia memerintahkan para
prajuritnya untuk mengenakan tanda salib ini pada perisai dan jubah mereka dan
akhirnya Konstantinus memenangkan pertempuran itu. Dengan menangnya
Konstantinus pada pertempuran itu, maka dia memberrikan kebebasan kepada
orang-orang Kristen dan bahkan dia menunjukkan kecenderungannya kepada Iman Kristen
itu.
Sebelum kematiannya
Konstantinus membangun suatu kota di Byzantium bagi Ibu Kota yang baru dari
kerajaannya dan kota itu disebut Konstantinopel (kini disebut Istambul atau
Turki) untuk menghormati dia. Konstantinus sendiri baru dibaptis diatas
ranjang menjelang kematiannya pada tahun 337. Bersama dengan ibunya Maharatu
Heleni, dia menemukan Salib asli Kristus di Yerusalem, serta keduanya diakui
sebagai orang kudus Gereja Orthodox sampai sekarang ini. Iman Kristen diakui
sebagai agama resmi kerajaan Byzantium pada tahun 380 oleh ketetapan Kaisar
Theodosius.
Sementara itu umat Kristen di
Syria yang tinggal di kekaisaran Persia, makin mengalami aniaya karena
dicurigai sebagai antek musuh kerajaan Persia, karena kerajaan Romawi yang
menjadi musuh bebuyutannya sekarang telah menjadi kerajaan Kristen Byzantium.
B. Masa Konsili Agung Ekumenis Gereja Rasuliah yang Satu dan Orthodox :
pada abad ke IV (tahun 325) sampai dengan abad ke VIII (tahun 787)
Pada saat Pemerintahan
Konstantinus ini, Gereja mendapatkan kembali harta miliknya, serta terbebas
dari aniaya yang luar biasa, namun ketentraman Gereja ini segera diganggu oleh
munculnya bidat-bidat yang berasal dari dalam. Pertama adalah munculnya aliran
perpecahan “Donatisme” di Afrika utara yang dipimpin oleh Donatus, yang menolak
Episkop terpilih di Karthago yang dianggap termasuk golongan “Lapsi” pada saat
penganiayaan zaman Diokletianus. Bukannya Konstantianus membiarkan Gereja untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri, namun dia menggunakan kekuatan militernya
untuk memihak, pada pertama kali pihak Donatis, dalam memaksakan keputusannya.
Dan dalam perpecahan Donatisme ini menyebabkan lenyap dan punahnya Gereja
Afrika Utara (Libia, Maroko, Aljazair) yang dulu pernah jaya.
1. Konsili Agung Pertama ( tahun 325 Masehi)
Konsili yang pertama ini
diadakan di Kota Nikea dengan dihadiri oleh 318 Episkop, dan tujuan diadakan
konsili ini adalah untuk melawan ajaran Arianisme yang mengatakan bahwa : “Ada
saatnya bahwa Sang Sabda itu tidak bersama-sama dengan Allah” atau “Bahwa Allah
itu hanya Sang Bapa saja, Anak Allah yang akhirnya menjelma menjadi manusia
itu, adalah mahluk pertama yang diciptakan oleh Allah dalam wujud roh, dan
dibantu oleh mahluk yang pertama ini Allah menciptakan jagat dan manusia” (bnd.
Kol 1:15). Tentu saja ajaran ini tidak benar, oleh karena itu dalam sidang itu
dirumuskan : “Bahwa Sang Firman yang juga disebut Anak Allah itu bukan
diciptakan, karena Dia itu Allah” ( Band Yoh l:l-2, 10:30, 8:42, Yoh 6:41,38).
2. Konsili kedua (tahun 381 Masehi)
Konsili ini diadakan di kota
Konstantinopel guna melawan ajaran Makedonius bahwa : “Roh Kudus itu bukan
Illahi, namun Dia itu hanyalah daya aktif Allah saja” karena itu dalam Sidang
Konsili ini dirumuskan bahwa : “Roh kudus itu adalah Allah, yang keluar dari
Sang Bapa, yang bersama Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimuliakan” (Yoh
15:26, 1 Kor 2:2-l0, Yoh 14:26, Kej 1:1-3).
Dan pada saat konsili pertama
dan kedua inilah baru diteguhkan kembali menjadi satu rumusan pengakuan Iman
(syahadat), yang menjadi Pengakuan Iman Orthodox sampai sekarang dengan sebutan
“Pengakuan Iman Nikea”.
Para tokoh spiritual (Para Bapa
Gereja) yang sangat berjasa dalam membela Iman Rasuliah yang Orthodox,
menentang Arianisme dan Makedonianisme pada saat itu adalah Bapa Suci Athanasios
Agung Episkop dari Alexandria (wafat tahun 373) yang banyak mengalami aniaya
dari Pemerintah dan pengikut Arianisme, serta tiga Episkop dari Kappadokia
(Asia Kecil) Bapa Suci Basilius Agung (wafat 379), saudara laki-lakinya Bapa
suci Gregorius dari Nyssa (wafat 379) serta sahabat mereka berdua Bapa Suci
Gregorius Naziansus Pakar Teologi (wafat 389). Mereka inilah yang banyak
menderita aniaya dari Pemerintah dan pengikut Arianisme, namun mereka tidak
takut untuk menjelaskan Iman Kristen tentang Ke- Illahian Kristus dan Roh Kudus
di dalam kesatuan hakekat dari Allah yang Esa, yang mana hal tersebut tetap
dipegang teguh oleh umat Kristen sebagai standar Aqidah sampai sekarang.
3. Konsili ketiga (tahun 431 Masehi)
Konsili ini diadakan di Kota
Kalkedonia yang dipimpin oleh Bapa Gereja Js. Kirilos Patriark Alexandria, guna
melawan ajaran Episkop Nestorius dari Konstantinopel yang mengajarkan bahwa :
“Kristus itu manusia biasa anak Maria, yang dirasuk oleh Sang Firman, sehingga
dalam Kristus itu ada dua Pribadi yaitu : Pribadi Kristus anak Maria dan
Pribadi Sang Firman yang merasuki manusia Yesus, hingga demikian Nestorius
menolak Maria sebagai “Sang Theotokos” ( Yoh 1:1-2, 14:7, Luk 1:43)
Sinode Rampok
Suatu Muktamar terkenal sebagai
Sinode Rampok diadakan di Efesus pada tahun 449 Masehi. Muktamar ini menjunjung
tinggi pengajaran-pengajaran Mazhab Alexandria yang dinyatakan pada tahun 431
Masehi. Pertemuan ini tidak diterima Gereja secara menyeluruh karena tendensi
Monofisitismenya ( Mono = satu, fisis = keberadaan) dimana dikatakan bahwa
didalam Kristus hanya ada satu kodrat keberadaan saja, yaitu sifat keberadaan
Illahi. Ini diakibatkan karena menafsir pengajaran Kirilos pada sisi yang
sangat Ekstrem.
Pada tahun ini Leo Agung,
Patriarkh Roma, juga mengeluarkan “tomos” (uraian pengajaran) Dogmatik, dimana
dia dengan jalan membedakan dua sifat keberadaan Kristus. Kebijakan Leo adalah
moderat, menggabungkan pemikiran Kirilos dari Alexandria dari Mazhab Antiokia.
“Tomos”nya itu dijunjung tinggi dalam Muktamar di Kalkedonia (451)
4. Konsili ke empat (tahun 451 Masehi)
Sidang ini diadakan di kota
Kalkedonia, tujuannya adalah untuk menekankan hubungan Ke-Illahian dan
kemanusiaan Kristus, serta menekankan kembali apa yang sudah ditetapkan pada
sidang yang ketiga. Dalam Sidang ini , sekali lagi gelar Maria sebagai sang
“theotokos” ditekankan, dan keesaan Pribadi Yesus Kristus serta keidentikannya
Pribadi itu dengan Sang Firman diproklamasikan (Yoh 10:30, 14:7). Dan dalam
sidang itu dirumuskan bahwa :
Pribadi Yesus Kristus itu
adalah sama dengan Pribadi Sang Firman, karena Firman itu telah menjadi daging
(Yoh 1:14)
Dalam Diri Sang Firman yang
menjadi manusia itu mempunyai dua tabiat dasar yaitu : tabiat dasar asali (Yoh
10:30, 14:7, 6:42) dan tabiat dasar baru yaitu tabiat dasar manusia yang
diambil dari darah dan daging Maria (Gal 4:4, Luk 2:40, 1 Yoh 1:1-2, Mat 4:2)
Tabiat dasar asali dan tabiat
dasar baru itu manunggal dan tak bercampur baur, yang Illahi tetap Illahi dan
yang manusiawi tetapi manusiawi.
Keputusan ini tak disetujui
oleh Filoksenius, Dioskoros dan Eutyches, serta mereka mengatakan bahwa tabiat
dasar Kristus itu hanyalah satu ( Monofisit, Mono = satu, fisis = tabiat
dasar). karena menurut mereka kemanusiaan Kristus itu telah ditelan Ke
IllahianNya, sebagaimana setetes air ditengah-tengah samudra. Dan faham ketiga
orang ini diikuti oleh sebagian besar Gereja Alexandria dan Ethiopia, Gereja
Syria dan Gereja India, dan mereka terkenal dengan sebutan kaum Non-Kalkedonia
atau kaum Monofisit. Namun pada tahun 1964 diketika diadakan pertemuan (dialog
antara Kaum Kalkedonia dan Monofisit) di Rhodos, Kaum Non-Kalkedonia (Oriental)
tidak mempercayai apa yang diajarkan oleh Filoksenius, Dioskoros dan Eutyches,
itu hanya berbeda dalam ungkapan, namun pengertian sama persis.
Dalam Konsili ini juga
memberikan kedudukan “pertama dalam penghormatan“ kepada Roma diatas
Konstantinopel (Roma Baru) sedangkan Konstantinopel menduduki urutan kedua
sesudah Roma, kemudian diikuti oleh urutan sebagai berikut : Alexandria,
Antiokia, Yerusalem. Roma menduduki urutan Pertama karena Roma adalah
Ibukota kekaisaran sebelum dipindah ke Byzantium dan karena Rasul Petrus dan
Rasul Paulus mati sahid ditempat itu. Jadi kedudukan Roma sebagai yang pertama
itu, bukan karena alasan teologi maupun alasan “hak Illahi”, namun itu hanyalah
alasan praktis saja, administrative dan politis saja.
5. Konsili kelima ( tahun 553 Masehi)
Sidang ini diadakan di kota
Kaisar Yustinianus di Konstantinopel. Dalam sidang ini Kaisar Yustinianus
berusaha untuk mengembalikan kaum Monofisit kedalam Gereja Perdana atau Gereja
Orthodox. Caranya adalah dengan mengutuki tulisan-tulisan Teodoret dari Siprus,
Ibas dari Edessa dan Theodoros dari Mopsuestia, yang mana tulisan-tulisan itu
disebut dengan sebutan “Tiga Naskah”. Namun usaha Yustinianus ini gagal,
karena kaum Monofisit tak mau kembali dan malah menuduh bahwa Iman Kalkedonia
ini mengikuti faham Nestorian. Tentu saja hal ini salah faham besar,
karena dengan mengutuki pengajaran “Tiga Naskah” yang cenderung mengikuti faham
Nestorian, justru untuk membuktikan pada kaum Monofisit bahwa Iman Kalkedonia
ini tidaklah sefaham dengan ajaran Nestorian. Dan bahkan ajaran penulis
terkenal Origenes juga dikutuk, karena ajarannya sangat tidak Orthodox,
misalnya : mereka mengajarkan bahwa Kristus adalah satu-satunya roh yang
diciptakan Allah yang tidak menjadi benda jasmani (Yoh 1:1-2, 14 Kol 1:15-16),
dan roh manusia itu ada dari kekal sebelum menjadi manusia (kej 1:26-27, 2: 7).
6. Konsili keenam (tahun 680-681 Masehi)
Pribadi-pribadi yang penting
dalam sidang ini adalah Bapa Gereja Maximos Sang Pengaku Dosa dan Bapa Gereja
Martin Patriarkh Gereja Roma saat itu. Sidang ini diadakan di kota
Konstantinopel. Tujuan diadakan sidang ini adalah untuk melawan ajaran
“Monothelitisme” (Mono = satu, thelima = kehendak), dimana disana diajarkan
bahwa “Kristus hanya mempunyai satu kehendak saja yaitu kehendak Illahi”. Dan
para Bapa Gereja melihat ajaran ini sebagai ajaran “Monofitisme” tersembunyi
(Yoh 6:38 band Mat 26:39).
7. Konsili ke tujuh (tahun 787 Masehi)
Sidang ini diadakan di kota
Nikea, yang menyatakan bahwa Ikon harus disimpan dan dihormati. Karena
Ikon-ikon dalam Gereja itu adalah merupakan refleksi iman Gereja dan itu masih
dipegang teguh sampai sekarang dalam Gereja Orthodox atau Rasuliah.
Perlu dicatat disini, bahwa
pergolakan Ikonoklasme dimulai oleh Kaisar Leo III. Ikon adalah gambar-gambar
simbolis mengenai Kristus, IbuNya dan orang-orang kudus milikNya. Asal-usul
Ikon dapat ditemukan dalam peninggalan awal dari orang Kristen ketika masih
hidup dalam katakombe-katakombe atau bahkan lebih dini lagi, dimana sukar bagi
mereka untuk mengaku Iman mereka secara terang-terangan. Maka untuk untuk
mengekspresikan Iman Kristen mereka, mereka menggunakan gambar-gambar dan
lambang-lambang, dan gambar-gambar semacam inilah disebut Ikon. Gereja Orthodox
sebagai kesinambungan Gereja mula-mula itu, memelihara kebiasaan menggambarkan
Iman Kristen itu dalam wujud simbol-simbol ini, dalam bentuk ikon yang
mempunyai arti teologis secara mendalam.
Dengan bangkitnya Islam yang
oleh teologinya sangat anti gambar manusia (meskipun menggunakan kaligrafi)
terutama pada waktu pemerintahan Kalifah Yazid di Syria yang sezaman Leo itu,
juga oleh pengaruh orang-orang Yahudi, dan pengaruh Filsafat kafir Yunani yang
mengatakan bahwa yang jasmani dan yang benda itu buruk, yang baik hanya yang
abstrak dalam ide dan kata-kata saja, maka Leo III ini menyerang Ikon sebagai
berhala. Periode ini terkenal sebagai periode pertama Ikonoklasme.
Terkait dengan bahasan mengenai
Ikon ini, Yohanes dari Damaskus, seorang kudus, Bapa Gereja Yunani dan
pengarang kidung-kidung Gereja kita dan pengarang buku teologia sistematika
Gereja yang disebut “Eksposisi Iman Orthodox”, juga seorang pembela utama Ikon
pada tahun 749 menegaskan, bahwa Ikon bukanlah berhala namun symbol. Dalam
Perjanjian Lama memang “patung ukir-ukiran” dilarang (Kel 20:1-5), karena pada
waktu itu Allah menampakkan Diri tanpa wujud yang nyata namun hanya dalam suara
saja (Ul 4:12,15-19), sehingga menggambarkan sesuatu yang tanpa wujud adalah
sesuatu yang mustahil dan dusta. Namun kalau yang digambar itu bukan Allah
serta tak disembah sebagai Allah meskipun itu terletak dalam ruang tersuci
dalam tempat Ibadah, yang dengan sendirinya orang akan sujud kalau masuk ke situ,
bukan saja tak dilarang malahan diperintahkan ( Kel 25: 18-25, 1 Raj 6:23-28,
32-35, 8: 6-8).
Di dalam Yesus , Allah telah
menjadi manusia (Yoh 1:14), berarti nampak dan bisa dilihat oleh mata (1 Tim
3:16, l Yoh l :l), dengan demikian bisa digambar. Penampakkan sebagai manusia
itulah yang digambar, dan bukan Ke-AllahanNya yang tak nampak. Jadi yang
digambar bukanlah Allah yang Roh, karena itu mustahil , dusta dan dilarang,
tetapi kemanusiaanNya, yang adalah mungkin, berguna dan tak dilarang. Jadi
bukan berhala, sebagaimana kerubim dalam Perjanjian Lama itupun bukan berhala.
Lagi pula secara ketat yang dilarang itu adalah “patung”. Ikon itu
bukanlah patung tetapi gambar. Maka Ikon meskipun diletakkan pada tempat
Ibadah, itu bukanlah berhala, sebagaimana Kerubim dalam bait Allah itupun bukan
Berhala.
Kalau orang menunduk pada
kerubim pada waktu mereka masuk ke Bait Allah, dan tak dianggap berhala, maka
mengapa orang yang menghormat gambar Sang Juru Selamat dan orang-orang milikNya
yang adalah saudara kita dalam Iman, dianggap menyembah berhala? Berhala adalah
menyembah sesuatu yang bukan Allah dan dianggap Allah, Ikon itu bukan gambar
Allah, bukan pula disembah sebagai Allah, namun itu adalah gambar kemanusiaan
Allah Sang Firman yang menjelma sebagai manusia, agar arti Inkarnasi Sang Sabda
secara jasmani itu tak terlupakan.Yang ditekankan dalam teologi Ikon itu adalah
realita inkarnasi yang betul-betul jasad jasmani. Jadi pergolakkan Ikonoklasme
ini adalah pergolakan dari orang-orang yang tak mengerti implikasi Inkarnasi.
Jadi itu bukan semata-mata pergolakan gambar, namun lebih menunjuk pada
pergolakan kemanusiaan Kristus dan Kristologis. Dan untuk mentaati larangan tak
membuat patung dan ukir-ukiran dan untuk menekankan arti Inkarnasi itulah,
Gereja Orthodox melarang sama sekali menggunakan Patung, tetapi menekankan
membuat Ikon, karena Kristuslah Ikon (gambar) Allah itu ( Kol 1:15).