Minggu, 17 November 2013

Ulasan Theology "Doa Bapa Kami" (5)

Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.
 

VII. “ DAN JANGANLAH MEMBAWA KAMI DALAM PENCOBAAN TETAPI LEPASKANLAH DARI SI JAHAT … “

Kata-kata “pencobaan” dalam bahasa Yunaninya adalah “PEIRASMOS” yang berarti “godaan”. Dan kata “pencobaan” atau “peirasmos” banyak sekali digunakan dalam Alkitab.
Dalam Injil Lukas 22 : 28 misalnya, dituliskan bahwa pencobaan dikaitkan dengan penentuan hak dalam kerajaan, pada kitab Kisah Para Rasul 20 : 19 pencobaan dikaitkan dengan dukacita, di surat I Petrus 4 ; 12 pencobaan (ujian) dikaitkan dengan penderitaan yang membawa sukacita didalam Allah, dan dalam surat Js. Paulus kepada jemaat di Galatia 4 : 14 pencobaan dikaitkan dengan kesakitan pada tubuh.
Meskipun masih banyak lagi hal yang berbicara mengenai pencobaan, namun melalui ayat-ayat tersebut diatas telah terdeteksi bahwa pencobaan itu dapat dimengerti dalam dua hal.

Pertama “pencobaan” yang membawa pada kesukacitaan atau kegembiraan, dan yang kedua adalah pencobaan yang membawa pada kesakitan tubuh dan penderitaan.
Pencobaan yang membawa pada sukacita atau kegembiraan, dapat dilihat dari apa yang dikatakan oleh Yesus pada muridNya bahwa : “ … kamulah yang tetap tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala pencobaan yang Aku alami “ (Lukas 22 : 28).
Artinya sebagai murid akan mengalami apa yang dialami oleh Gurunya, apalagi jika hal itu dikaitkan dengan pengertian GEREJA.

Dan sebagaimana dijelaskan Js. Paulus bahwa Kristus adalah kepala Gereja (Efesus 5 : 23), dan orang percaya dipandang sebagai GerejaNya (anggota tubuhNya), maka dapat dipastikan bahwa apa yang dialami oleh Kepala (Kristus) juga akan dialami oleh tubuhNya (GerejaNya), karena antara kepala dan tubuh merupakan satu-kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain, hal itu nyata sekali terlihat dari kalimat : “ … tetap tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala pencobaan “. Dan pencobaan yang dimaksud disini dapat berwujud : kesedihan, kesendirian dan juga ketakutan (Yohanes 20 : 19), namun itu dapat dipandang sebagai suatu test akan murni dan tidaknya iman mereka dihadapan Allah (I Petrus 1 : 7).

Itu sebabnya Js. Paulus menegaskan bahwa : “Kalau kita menderita bersama-sama dengan Dia, kita juga akan dimuliakan bersama-sama dengan Dia” (Roma 8 : 17). Artinya penderitaan adalah merupakan bagian dari hidup orang percaya, namun penderitaan itu akan membawa pada suatu kebahagiaan yaitu mendapat hak sebagai pewaris kerajaan dan mengambil bagian dalam kodrat ilahi (II Petrus 1 : 4).
Sedangkan pencobaan yang membawa kesakitan tubuh, dapat dilihat dari apa yang diungkapkan oleh Js. Paulus bahwa : “ … aku sakit pada tubuhku. Sungguhpun demikian keadaan tubuhku itu, yang merupakan pencobaan bagi kamu, namunkamu tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang hina dan yang menjijikkan, tetapi kamu menyambut aku … “ (Galatia 4 : 13-14).

Luka dan sakitnya tubuh disini dipandang oleh Js. Paulus sebagai suatu “pencobaan”, dan ini merupakan suatu konsekuensi akan tugas atau pekerjaan yang diembannya, yaitu memberitakan kabar baik tentang kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Dan bahkan Js. Paulus melihat pencobaan ini sebagai suatu kebanggaan serta refleksi akan satunya dia dengan hidup Sang Kristus sendiri (Galatia 2 : 20).
Dari kedua makna dan pengertian “pencobaan” tersebut diatas, tidaklah menyentuh arti essensi tentang “Doa” yang diajarkan Tuhan pada para muridNya, bahwa : “Dan janganlah membawa kami dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah dari si jahat”.
Hal itu dikarenakan bahwa apa yang dijelaskan diatas terkait erat dengan misi dan pekerjaan yang diemban sebagai murid. Sedangkan kalimat : “Janganlah membawa kami dalam pencobaan … “,menunjuk pada artian serangan atau godaan yang mampu untuk memisahkan dirinya (hidup orang percaya) dengan hidup Allah.

Serangan dan godaan yang dapat memisahkan diri dari Allah, adalah serangan yang dapat menjadikan seorang lupa pada Allah dan menuruti dorongan batin terdalam untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah.
Contoh yang jelas dapat dilihat dari peristiwa manusia pertama yang Allah ciptakan yaitu bapa Adam dan ibu Hawa. Disana dijelaskan sedemikian rupa, bahwa Adam dan Hawa atas bujuk rayu si Iblis dan juga atas dorongan dari batin terdalam untuk segera ingin menjadi seperti Allah, maka diambil dan dimakanlah buah dari pohon kehidupan dan kematian, yang sebenarnya menjadi larangan keras (Kejadian 3 : 12-14). Hal yang sama juga dilakukan pada Tuhan Yesus, namun pada pribadi yang satu ini Iblis telah gagal total (Matius 4 : 1-10) karena Yesus lebih mengedepankan Allah daripada bujuk rayu si Iblis.

Akibat terpisahnya manusia dari Allah karena ketidaktaatannya, hidup manusia telah dikuasai oleh Iblis. Dosa, maut dan neraka. Dan bahkan dalam batin manusia telah tercemari dan terkontaminasi dengan sifat-sifat Iblisiah( Markus 7 : 20-22), sehingga dalam hidup manusia ada potensi dan kecenderungan yang besar untuk melakukan tindakan yang tak mencerminkan sebagai makhluk yang dicipta menurut gambarNya.
Tindakan-tindakan yang tak mencerminkan sebagai gambar Allah adalah : berfikir jahat, cabul, mencuri, membunuh, berzinah, serakah, jahat (kejam), mengumbar nafsu, iri hati, hujat, sombong, dan bebal (Markus 7 : 20-22), yang mana sifat dan tindakan ini dipemandangan Allah dilihat sebagai sesuatu yang tak normal, dan hal ini punya potensi dan mampu membawa seseorang ke neraka dan tak dapat mencapai pengilahian dalam Kristus (II Petrus 1 : 4).

Berpijak dari sinilah, mengapa Yesus dalam “DoaNya” yang diajarkan pada para muridNya mengatakan : “Janganlah membawa kami dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah dari si jahat”, menunjuk pada artian bahwa Tuhan ingin mengajar umatNya khususnya orang percaya untuk menyadari akan kelemahannya, sehingga tak ada yang patut untuk dibanggakan apalagi dalam mengatasi pencobaan yang membawa pada kehancuran.
Manusia khususnya orang percaya perlu pertolongan Allah, karena hanya Allahlah yang mampu memberi kekuatan dan melindungi manusia dari jerat dan serangan Iblis.
Ini berarti manusia atau orang percaya perlu memberi tempat bagi Allah untuk memimpin, menerangi dan menuntun hidupnya serta membersihkan batinnya yang terdalam, karena batin adalah merupakan pusat dari keberadaan manusia itu sendiri (Matius 6 : 22).

Dengan dipimpinnya orang percaya oleh Allah dalam hidupnya, maka tak akan pernah ia menggunakan kekuatan sendiri ketika serangan atau cobaan dari Iblis itu datang, namun dengan penuh kerendahan hati berseru pada Allah dan mengatakan : “ … lepaskanlah kami dari si jahat”. Artinya memohon pertolongan dengan penuh harap pada Allah, agar mampu menghadapi segenap cobaan yang datang dalam hidupnya.

Dalam “Doa Bapa Kami” atau “Doa Tuhan” ini tidak dikatakan : “ …lepaskanlah kami dari orang jahat”, tetapi “… lepaskanlah kami dari si jahat”, yang berarti bahwa Tuhan Yesus ingin mengajarkan bahwa sebenarnya musuh seseorang itu bukan manusia, namun penguasa di udara , si Jahat, si Pendusta yaitu Iblis (Efesus 6 : 12), dan bahkan menurut Js. Yohanes Krisostomos, Iblis itu perlu dilawan dengan tiada rasa takut.
Jadi baik Js. Paulus maupun Js. Yohanes Krisostomos, melihat bahwa musuh manusia itu adalah Iblis.

Namun disisi lain para Bapa Gereja melihat bahwa disamping manusia, Iblis, musuh manusia terbesar itu adalah diri sendiri yaitu nafsu-nafsu sesat yang tak terbendung.
Dengan demikian jelas, bahwa doa yang diajarkan oleh Tuhan ini mempunyai maksud disamping untuk pengendalian diri, juga menyadarkan akan kelemahan sebagai manusia serta perlu pertolongan dari Allah, karena hanya Allahlah yang dapat melepaskan manusia dari cobaan, sehingga manusia dapat hidup murni tanpa cacat sebagai gambar Khaliknya (Efesus 1 : 4 bnd Kejadian 1 : 26-27).

VIII. “ KARENA ENGKAULAH YANG EMPUNYA KERAJAAN DAN KUASA DAN KEMULIAAN  SAMPAI SELAMA-LAMANYA – AMIN “

Dalam kalimat-kalimat terdahulu dalam “Doa” yang diajarkan oleh Tuhan Yesus pada para muridNya, telah dijelaskan begitu rinci tentang makna dan arti doa itu. Doa yang diajarkan oleh Tuhan itu bukan sekedar doa yang tak mempunyai arti, namun itu kena-mengena akan antisipasi akan berdirinya Gereja di jagad.
Di dalam Gereja melalui sakramen, manusia dapat menyatu dengan PuteraNya yang tunggal, sehingga melalui penyatuannya dengan Dia, manusia khususnya orang percaya dapat menyebut Allah sebagai “Bapa”. Dan Gereja menurut “Doa” ini dimengerti sebagai “Kerajaan Allah”.

Dalam Gereja atau “Kerajaan Allah” inilah orang percaya dapat disatukan terus-menerus dengan Allah melalui ambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus, sehingga orang percaya dapat menterjemahkan atau “mengejawantahkan” kehidupan Allah serta sifat Allah di jagad melalui hidupnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Gereja dan para Bapa Gereja, bahwa tujuan Sang Sabda nuzul menjadi manusia disamping untuk menebus manusia, menjadikan manusia seperti Allah, juga membawa manusia / orang percaya mampu menghidupi hidup Ilahi (Theosis), dengan dampak manusia dapat saling mengasihi dan mengampuni kesalahan orang lain, karena Allah melalui pribadi Tuhan Yesus telah lebih dahulu mengampuni dirinya.

Disamping Allah itu Maha mengasihi, Ia juga mempunyai sifat rendah hati, dan ini terbukti bahwa dalam keadaan sebagai Allah, Dia tidak menganggap kesetaraan diriNya dengan Allah (Filipi 2 : 6). Dan melalui penyatuannya dengan Kristus malalui sakramen dalam Gereja, sifat Allah telah menjadi milik orang percaya, sehingga pada saat menghadapi jerat atau tipuan Iblis, dengan penuh kerendahan hati orang percaya memohon pertolongan dan berseru pada Allah : “Lepaskanlah kami dari si jahat”.
Mengingat begitu mulia dan agungnya rencana Allah untuk manusia dalam Gereja, maka tidak ada kata yang dapat diungkapkan selain : “ Karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya – Amin “.

Ungkapan ini disamping sebagai kalimat penutup dalam doa “Bapa Kami” yang diajarkan Tuhan Yesus pada para muridNya, juga menunjuk bahwa Allah melalui kuasaNya yang Maha dahsyat mampu untuk mengadakan apa yang tidak ada menjadi ada, seperti antisipasi akan terbentuknya Gereja di jagad.
Jadi ungkapan itu muncul, karena terbesit rasa kagum akan keberadaan Allah yang Mahakudus dan Mahamulia itu.

Dengan mengerti akan makna dan arti “Doa Bapa Kami” atau “Doa Tuhan” (The Lord’s Prayer) ini, maka tidak ada alasan bagi orang percaya untuk mengabaikan doa ini, namun justru terdorong rasa kagum akan kebesaran kemuliaan Allah, karena melalui doa ini program Allah untuk pemulihan keberadaan manusia telah nampak.
Maka sekali lagi, marilah kita mulai mendaraskan doa ini dengan khidmat bersama Gereja Universal sedunia.

Ulasan Theology "Doa Bapa Kami" (4)

Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.


VI. “ DAN AMPUNILAH KAMI AKAN KESALAHAN KAMI,,SEPERTI KAMI JUGA MANGAMPUNI ORANG YANG BERSALAH KEPADA KAMI … “


Mengampuni kesalahan orang lain bukanlah suatu pekerjaan yang mudah karena hal itu kait-mengkait dengan batin yang terdalam. Sepanjang manusia dalam hidupnya mementingkan dirinya sendiri, dan membiarkan egonya berkembang rasanya sukar bagi dia untuk dapat mengampuni orang lain.
Jalan satu-satunya bagi manusia untuk dapat mengampuni orang lain adalah memberikan tempat bagi Allah dalam batinnya untuk beroperasi dan mengarahkan jalan hidupnya sebagai mana yang dikehendaki oleh Allah.

Padahal seperti halnya ditegaskan oleh Js. Yohanes Sang Rasul, bahwa Allah itu kasih (I Yohanes 4 : 8), maka jelas bahwa didalam Diri Allah tidak ada apa yang dinamakan dengan dendam, menyimpan kesalahan orang lain, egois, dan kejam, yang ada di dalam Allah adalah cinta kasih, melupakan kesalahan, perhatian dan ramah pada orang lain.
Karena sifat Allah yang demikian inilah, tak dapat disangsikan lagi bahwa Allah siap memberikan pengampunan pada orang yang berbuat dosa padaNya, yang dalam Injil Matius digambarkan bagaikan seorang raja yang memberikan pengampunan dan membebaskan segenap hutang hambanya (Matius 18 : 27).

Sebagai ganti akan kebaikan Allah, seharusnya sikap kasih dan pengampunan serta tak berbuat jahat pada sesama perlu diwujudnyatakan, sehingga kasih, anugerah dan rahmat tak diambil kembali oleh Allah (Matius 18 ; 32-34).
Pada Injil yang sama Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa : “ … kasihlah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 19:19 ; 22:39).
Jadi mengasihi manusia oleh Tuhan dipandang sebagai refleksi mengasihi diri sendiri. Itu sebabnya bagi orang yang sadar tak akan mau dan benci terhadap sikap : egois, dendam, kejam, berang dan menangnya sendiri, karena hal itu akan berakibat fatal dan juga menunjuk pada tipisnya cinta (kasih) pada dirinya sendiri.
Dan lagi sifat-sifat tersebut diatas tidaklah mencerminkan keberadaan sebenarnya manusia diciptakan (Kejadian 1 : 26-27).

Berpijak dari dasar manusia dicipta sebagi “Gambar dan Rupa Allah”, maka tak wajar bahwa manusia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan sifat dan karakter Allah. Wajarnya manusia dalam hidupnya memantulkan sifat dan keberadaan Allah dalam DiriNya sendiri. Padahal Allah dalam DiriNya sendiri ada dalam jalinan kasih dari kekal, berarti sebagai makhluk yang dicipta menurut gambarNya harusnya selalu berkomunikasi dan mengasihi sesama manusia.
Itu sebabnya membenci, dendam dan tak mau memberi pengampunan pada orang lain yang bersalah dianggap sebagai suatu pengingkaran pada dirinya sendiri, karena seharusnya manusia itu saling berbagi dalam kasih, sebagaimana yang terjadi pada Allah dalam DiriNya sendiri.

Dalam pemandangan Gereja dan para Bapa Gereja, jika seseorang tak dapat berbagi dan mengasihi orang lain, maka orang itu tak dapat dikatakan sebagai “manusia yang lengkap /utuh”.
Artinya bahwa sebagai makhluk yang dicipta menurut gambar Allah selalu ada keterkaitan dengan makhluk yang lain, karena yang dikatakan bahwa “Manusia itu Gambar Allah” (Kejadian 1 : 26-27), itu bukan berdiri pada dirinya sendiri, namun menyangkut seluruh totalitas manusia di jagad ini.
Dari sini jelas bahwa sifat egois, dendam, marah, jahat dan kejam terhadap orang lain dipandangnsebagai suatu “penghinaan”, karena Allah menciptakan manusia bukan untuk melakukan sifat dan karakter yang demikian itu.

Allah menciptakan manusia itu, agar manusia dapat merasakan hubungan Allah dalam DiriNya sendiri, yang berarti dalam hidup manusia harus dapat menciptakan kesejahteraan dan kedamaian bagi orang lain. Artinya tidak ada perselisihan dan konflik diantara manusia.
Dalam “Doa Tuhan” ini juga dikatakan : “Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah pada kami”. Artinya bahwa Tuhan ingin mengajar para muridNya untuk selalu memberikan pengampunan pada orang lain, sebagaimana Allah juga telah mengampuni mereka (I Yohanes 4:19).

Jadi “pengampunan” atau “Forgiveness”itu sifatnya “Horizontal” dan “vertikal”. Dan ini identik dengan masalah “kasih”, bahwa “kasih” itu sifatnya juga “horizontal” dan “vertikal”.
Ini jelas ditandaskan oleh Js. Yohanes Sang Rasul bahwa, jikalau seorang berkata : “Aku mengasihi Allah, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (I Yohanes 4:20).
Yang dimaksud disini adalah, mengasihi yang berarti tak membenci orang lain, merupakan bukti bahwa seseorang dapat juga mengasihi Allah yang tak kelihatan. Dan jangan katakan kita dapat mengasihi Allah, jika dalam realita hidup ini selalu membenci saudaranya / orang lain.

Berpijak dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa kasih adalah merupakan “fondasi” bagi manusia untuk dapat memberikan pengampunan atas kesalahan orang lain, padahal kasih itu milik dan sifat Allah. Itu sebabnya agar sifat kasih dapat tenggelam dalam dada, penyatuan dengan Allah melalui sakramen dalam Gereja sangat diperlukan. Karena dengan penyatuannya itu, sifat dan karakter Allah melalui kuasa Roh Kudus akan menjadi bagian dalam hidup.
Js. Nikodimos dari Gunung Athos, memandang bahwa “kasih” harus selalu diimbangi dengan sikap penyesuaian diri dan berusaha untuk melayani, dan ini nyata sekali dari kata-katanya bahwa :

Barangsiapa mengasihi seseorang, umumnya ia berusaha untuk melayani orang itu, demikian juga kalau seseorang mengasihi Allah, wajarnya ia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehendakNya“. [1]

Dari kata-kata ini jelas, bahwa “kasih” tak mengutamakan diri sendiri, namun lebih mengedepankan kepentingan pribadi yang dikasihi. Dan kasih yang benar itu tak menuntut suatu imbalan, namun justru mau merendahkan hati dengan wujud mau melayani dan menyesuaikan diri dengan kehendak yang dikasihinya, yaitu Allah. Jika prinsip hidup orang percaya ingin mengasihi pribadi lain, maka disana tak terbesit sedikitpun untuk tetap menyimpan kesalahan dan tak mau mengampuni orang yang bersalah pada dirinya. Dengan demikian jelas, bahwa “Doa Tuhan” yang diajarkan pada para muridNya agar “mengampuni kesalahan orang lain sebagaimana Allah telah mengampuni kesalahan mereka”, disamping menunjuk pada kenyataan bahwa diciptakannya manusia itu untuk memantulkan sifatNya, juga untuk menyatakan bahwa manusia tak dapat hidup pada dirinya sendiri, sehingga mengampuni kesalahan orang lain sangat ditekankan, karena hal itu menuju pada kesatuan , keutuhan dan kasih, dan ini telah terjadi dalam Gereja (Kolose 3:11), dan terwujud dalam apa yang dinamakan Gereja yang satu, kudus, Katholik dan Apostolik.


. . . .  [ bersambung ] . . . .

[1] Kallistos Timothy Ware. 1986. The Philokalia. Winchester. Faber and Faber.Hal. 84.

Kamis, 14 November 2013

Ulasan Theology "Doa Bapa Kami" (3)


Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS. 

IV. “ JADILAH KEHENDAKMU DI BUMI SEPERTI DI SORGA ... “


Agaknya sulit untuk dinyatakan kehendak Allah di bumi, jika melihat keberadaan manusia yang telah terkontaminasi oleh dosa, neraka dan iblis. Manusia cenderung untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah dan berbuat sesuatu yang mencerminkan keadaan batinnya yang telah rusak (Markus 7 : 20-22). Hidup manusia bagaikan kuda lepas kendali, berbuat semaunya saja, tak terkontrol dan tak tahu arah tujuan hidup.

Memang dalam keadaannya yang rusak dan berdosa, tak mungkin manusia mampu merefleksikan kehendak atau hidup Allah dalam dirinya. Namun jika ditinjau dari makna dan arti inkarnasi atau Sang Sabda nuzul menjadi manusia, hal yang tak mungkin dilakukan oleh manusia menjadi mungkin hingga wahana baru terefleksinya hidup Allah muncullah di jagad ini.

Dikatakan bahwa nuzulnya Sang Sabda menjadi manusia (Yohanes 1 : 14), merupakan jendela atau jalan dimana manusia dapat merefleksikan kehendak Allah, karena sebagaimana telah diajarkan oleh Gereja dan para Bapa Gereja, bahwa Sang Sabda dalam keberadaannya sebagai Firman Allah atau Kalimatullah itu selalu berada dan melekat diam dalam Allah Sang Bapa dari kekal sampai kekal. Padahal sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Js. Yohanes bahwa : “Allah itu Roh” (Yohanes 4 : 24), maka Firman yang tinggal dalam Allah itupun juga bersifat Roh, artinya bahwa Dia itu tidak mempunyai raga, tak mempunyai tulang dan tak mempunyai darah. Firman yang tak mempunyai raga, tulang dan darah itu, atas kehendak Allah dalam DiriNya sendiri telah mengenakan dan mengambil keberadaan baru yang diambil dari tubuh dan darah Sang Perawan Maria (Matius 1 : 23) dalam DiriNya, sehingga Firman yang bersifat Roh itu telah mempunyai keberadaan baru yang sebelumnya tidak ada yaitu keberadaan sebagai manusia (Yohanes 1 : 14).

Dengan dikenakannya keberadaan baru yaitu keberadaan sebagai manusia dalam DiriNya, maka dalam diri Sang Firman mempunyai dua keberadaan yaitu keberadaan Ilahi dan manusiawi.
Oleh karena itulah berdasarkan makna inkarnasi Sang Sabda, maka yang Ilahi dan manusiawi telah bertemu, yang tak kelihatan dan kelihatan telah bertegur sapa dan yang sorgawi serta duniawi telah menyatu. Dengan demikian atas dasar makna inkarnasi inilah "kehendak Allah” telah terejawantakan atau terefleksi dalam dunia melalui diri Sang Sabda menjelma. Karena dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan (Kolose 2 : 9), artinya bahwa dalam diri Sang Sabda menjelma yaitu Yesus Kristus, kehendak dan sifat Ilahi terpantul dalam DiriNya. Ini terbukti bahwa Tuhan Yesus dalam pelayananNya, hal-hal yang dilakukan tak pernah bersebrangan jalan dengan kehendak Sang Bapa dan Sang Roh Kudus. Ini menunjukkan bahwa apa saja yang dilakukan oleh Yesus merupakan kehendak Allah dalam DiriNya sendiri atau lebih jelasnya itu adalah kehendak Sang Tri Tunggal Mahakudus (Yohanes 4 : 34; 5 : 36;10 ; 38; Matius 26 : 39).

Setelah mengerti bahwa Yesus adalah satu-satunya pribadi yang mampu merefleksikan kehendak Allah dalam hidupNya yang jasmani, maka tak ada jalan lain bagi manusia untuk mewujudkan kehendak Allah di bumi seperti halnya di sorga selain daripada menyatu denganNya.
Dan cara menyatu dengan Yesus ditekankan oleh Js. Paulus adalah dengan percaya dan dibaptis (Roma 6 : 3-4, bnd. Markus 16 : 16), karena dalam baptisan orang percaya akan mati dan bangkit bersama Kristus dan dan mengenakan Kristus dalam hidup (Galatia 3 : 27). Artinya bukan keberadaan kita yang nampak tetapi Kristus yang nampak dalam hidup. Jadi penyatuan dengan Kristus melalui sakramen baptisan dalam Gereja merupakan pengalaman yang luar biasa, karena disana orang percaya bukan hanya mengenakan Kristus, namun mengacu untuk mewujudnyatakan sifat dan hidup Ilahi sebagai manifestasi manusia diciptakan.

Dikatakan bahwa baptisan sebagai manifestasi manusia diciptakan karena sebagaimana telah ditandaskan dalam Alkitab bahwa manusia itu diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah” (Kejadian 1 : 26-27). Artinya diciptakannya manusia itu agar manusia mampu mewujudnyatakan hubungan Allah dalam DiriNya dan sifat-sifat Ilahi dalam hidup.

Padahal hubungan Allah dalam DiriNya sendiri itu adalah hubungan dalam kasih, karena Bapa tinggal dalam Anak, demikian juga Roh, Roh tinggal dalam Bapa demikian juga Anak, Anak tinggal dalam Roh demikian juga Bapa.
Artinya dalam diri Allah yang Tritunggal itu, tidak ada apa yang dinamakan mengutamakan kehendak DiriNya sendiri, namun kehendakNya adalah kehendak kebersamaan dalam kaitan Tritunggal Mahakudus.

Sebagaimana disebutkan di atas, jika baptisan merupakan manifestasi dikembalikannya tujuan manusia diciptakan (Efesus 1:4; Kejadian 1:26-27). Ini berarti bahwa manusia dituntut untuk hidup sebagaimana Allah hidup yaitu kudus dihadapan Allah (Imamat 19:2 bnd.I Petrus 1:16).
Karena hidup Allah sebagai orientasi manusia hidup, maka mengutamakan kehendak Allah dan bukan kehendak pribadi merupakan tujuan utama umat percaya.

Kait-mengkait dengan ini, Romo Arkhim George menegaskan : “As long as man carries out his own will, he can not find inner peace when he performs God’s will, he is reconsiled with God and finds peace.” [1]

Menyimak apa yang diungkapkan Romo George, bahwa saat orang percaya mengutamakan atau melakukan kehendak Allah dalam hidup ini, disamping kedamaian didapat dan yang lebih penting Allah diam dan menuntun orang percaya melalui kuasa RohNya sebagai manifestasi rujuk dan damainya orang percaya dengan Allah.

Dan mengutamakan kehendak Allah dalam hidup ini, bukanlah hanya sekedar kewajiban karena Allah telah berbuat baik, namun ini adalah wujud cinta kasih dan menundukkan kehendaknya pada Allah yang telah berbuat baik atas dirinya. Itu sebabnya Romo Yohanes dari Kronstadt menegaskan :

Untuk mengasihi Allah dengan segenap jiwa berarti segenap pikiran kita selalu ada dalam Dia, untuk membangun segenap kehendak kita dalam Dia, dan untuk menunduk segenap kehendak kita pada kehendakNya dalam setiap situasi hidup.” [2]

Jadi mengasihi Allah adalah hal yang sangat penting, disamping orang percaya sedang masuk dan mengekspresikan sifat Allah (I Yohanes 4 : 7,16), juga menunjuk pada pengertian bahwa segenap hati dan pikiran orang percaya ada di dalam Allah. Itu sebabnya hidup orang percaya selalu ada dalam ketundukan pada Allah yang memberi hidup.
Penyatuan dengan Kristus melalui sakramen dalam Gereja memang hal yang sangat penting untuk mengetahui kehendak Allah, namun tidak berarti telah usai dan mandeg, karena ada hal lain yang dapat mempertajam batin terdalam untuk mengerti kehendak Allah, yaitu “FIRMAN ALLAH”. Dan berpijak dari sinilah Romo Arkhim Sophrony menyatakan :

Ada beberapa cara untuk mengerti kehendak Allah, yaitu melalui Firman Allah dan perintah Kristus.” [3]

Dikatakan manusia dapat mengerti kehendak Allah melalui Firman, karena di sana tertera banyak hal yang menuntun bagaimana manusia seharusnya hidup diperkenan Allah, dan melalui perintah Kristus karena perintah Kristus itu adalah perintah Allah dalam DiriNya sendiri yaitu Allah Tritunggal Mahakudus.
Jadi melakukan kehendak Allah selalu terkait dan berlandaskan atas kesatuannya dengan Kristus, dan bukan atas kekuatan sendiri. Segala tindakan yang berlandaskan pada kesatuannya dengan Kristus selalu mengarah pada kebenaran, kemurnian, kesucian dan ketundukan mutlak pada Allah.
Dan tindakan yang demikian inilah, sebagai tindakan yang memantulkan sifat dan kehendak Allah di bumi.

Dengan demikian, pada saat Yesus mengatakan : “Jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga” dalam doa yang diajarkan pada para murid, walaupun tak secara langsung sedang mengajak para murid dan orang percaya untuk menyatukan diri mereka denganNya sebagai cara dan jalan satu-satunya untuk memantulkan kehendak Allah di sorga ke bumi.
Ini nampak sekali terlihat dari kata-kata Yesus sendiri : “Kamu adalah terang dunia” (Matius 5:14), dan disisi lain Yesus juga menegaskan : “Akulah terang dunia” (Yohanes 8:12). Artinya bahwa untuk dapat dikatakan sebagai “terang dunia” selalu terkait penyatuannya dengan “Sang Terang Dunia” atau “Yesus” melalui “Sakramen” dalam GerejaNya.

Dari sini jelaslah sudah, bahwa “kehendak Allah dapat terpantul di bumi” melalui diri orang percaya selalu terkait pada masuk dan menyatunya mereka dengan Sang Kristus, karena dalam Kristuslah kehendak Allah ke bumi itu telah terjadi.


V. “ BERIKANLAH KAMI PADA HARI INI MAKANAN KAMI SECUKUPNYA ...”

Kata “makanan” dalam bahasa Yunani “TROPHE”, sebenarnya tidak disebutkan dalam doa yang diajarkan Yesus, namun kata yang dipakai adalah “TON ARTON” yang berarti “Roti”. Dengan alasan yang kurang jelas mengapa “TON ARTON” yang berarti “Roti” dalam doa itu diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia “ menjadi “makanan”, meskipun itu tidak salah, namun bobot arti dan makna teologisnya itu berkurang.

Injil Js. Yohanes memberi suatu penjelasan yang cukup terang tentang makna kata “Roti” dalam Doa Tuhan. “Roti” yang dimaksud disini bukan sekedar roti untuk mengganjal lapar, namun hal itu punya pengertian yang dalam dan mengarah pada seorang pribadi. Dikatakan : “Akulah roti yang telah turun dari sorga” (Yohanes 6:41), jika Yesus mengatakan bahwa DiriNya adalah “Roti yang telah turun dari sorga”, berarti Dia telah mengidentifikasikan DiriNya sendiri dengan roti yang telah diterima oleh bangsa Israel di padang gurun itu. Karena “Manna” atau “Roti” yang diberikan Allah pada bangsa Israel dalam Perjanjian Lama itu adalah bayang samar tentang keberadaan Sang Sabda menjelma yaitu Yesus Kristus.

Yesus mengatakan “Akulah roti yang telah turun dari sorga”, menujuk pada pengertian bahwa sebagai “Firman”, Yesus itu diam dalam Allah Bapa dari kekal, jika Ia berada dalam Bapa dari kekal berarti Ia (Yesus) itu tidaklah termasuk dalam lingkup manusia, namun lingkup Ilahi. Itu sebabnya kata-kata “Akulah roti yang turun dari sorga” adalah mengarah pada DiriNya.

Juga ditekankan oleh Js. Yohanes dalam Injilnya bahwa : “ ... barang siapa makan dari padanya (roti hidup), ia tidak akan mati” (Yohanes 6:50). Artinya bahwa ia yang mengambil dan memakannya bukan kematian yang didapat, namun kehidupan kekal di dalam Allah. Hal ini diakibatkan “Roti” yang dimakan itu bukan hanya sekedar roti, namun itu "Sang Roti” atau “TON ARTON” (The bread) yang berdiam kekal dalam Allah. Jika “Sang Roti” atau “Ton Arton” itu berdiam dalam Allah, maka melaluiNya rahmat dalam kuasa RohNya, orang yang berpatisipasi dan makan dari roti itu akan masuk dalam kehidupan Sang Roti atau “Ton Arton“, sehingga hidup kekal yang dimiliki Sang Roti itu menjadi bagian dalam hidupnya.

Dan “Roti” yang dimaksud oleh Tuhan Yesus disini, tak lain dan bukan adalah dagingNya sendiri, sehingga Gereja dalam sejarahnya banyak mengalami tantangan, karena banyak orang kafir menuduh bahwa orang Kristen itu kanibal. 

Tetapi mereka tidak tahu secara persis bahwa yang dimaksud dengan Yesus bahwa : “Barangsiapa makan dagingKu dan minum darahKu, ia mempunyai hidup kekal ... “ (Yohanes 6 : 56-58), dalam kaitannya dengan Gereja itu tak lain menunjuk pada sakramen Perjamuan Kudus / sakramen Ekaristi Kudus.
Dengan demikian jelas, jika Tuhan Yesus dalam doa “Bapa Kami” ini mengatakan : “Berikanlah kami pada hari ini, makanan (ton arton atau roti) kami yang secukupnya”, meskipun dapat dimengerti secara “harafiah”, namun yang terutama dan terpenting mengarah pada “Sakramen Perjamuan Kudus”.

Kata “secukupnya” itu, artinya “tidak serakah” dan “bersahaja” dalam menerima rahmat dari Allah. Itu sebabnya sikap yang diperlukan saat mendekati “Tubuh dan Darah Kristus” harus disertai rasa hormat, takut dan gentar akan Allah, bersahaja, dan mengerti makna hakiki akan perjamuan kudus serta bukan “Perjamuan Kudus” hanya dianggap sebagai sesuatu yang tanpa makna, sebagaimana yang dilakukan oleh sidang di Korintus saat itu (I Korintus 11 : 21-22).

PerjamuanKudus itu sangat berarti dan penting, karena disana harapan untuk memperoleh hidup kekal itu telah terbuka. Itu sebabnya sangat tak logis jika Perjamuan Kudus itu hanya dianggap sebagai “lambang”, karena kata “peringatan” (Lukas 22:19; I Korintus 11 : 24-25) yang sering dijadikan suatu dasar bahwa Perjamuan Kudus itu lambang, sebenarnya dalam bahasa asli kitab Perjanjian Baru, yaitu bahasa Yunani adalah “ANAMNESIS’ artinya “Menjadikan nyata” atau “Menghadirkan kembali” secara nyata dan kontemporer peristiwa masa lalu yang tak terulang kembali itu, sehingga orang dapat berpartisipasi secara nyata dengan peristiwa yang dimaksud , meskipun hidup dalam waktu, tempat dan abad yang berbeda.

Anamnesis dalam sakramen Perjamuan Kudus adalah membuat hadir peristiwa korban Kristus yang tak terulang itu secara sakramental melalui seruan akan turunnya karya dan kuasa Roh Kudus yang disebut Epiklesis pada saat konsekrasi (anaphora) roti dan anggur.
Jadi dalam sakramen Perjamuan Kudus bukan Kristus dikorbankan berulang-ulang, namun korban yang satu dan yang sama itu dihadirkan oleh Roh Kudus yang tak mengenal waktu itu, sehingga menjadi peristiwa kekal yang menembus dan melintas waktu, yang terus-menerus dapat dialami oleh umat Kristus.
Dan lagi jika itu hanya dianggap sebagai suatu “lambang”, bagaimana mungkin terjadi bahwa seseorang dapat sakit dan bahkan meninggal dunia, jika cara mengambil tidak disertai hati yang benar dan layak dihadapan Allah (I Korintus 11:29-30). 

Disisi lain Yesus juga menegaskan : “Ambillah, makanlah, inilah tubuhKu. Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata : Minumlah, kamu semua dari cawan ini. Sebab inilah darahKu, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang” (Matius 26:26-28).
Sekali lagi Yesus tidak menekankan disini bahwa “Perjamuan Kudus” itu lambang tubuh dan darahNya, namun dengan tegas dikatakan “inilah tubuhKu dan inilah darahKu”.
Dan Gereja segala abad tidak mencoba menjelaskan secara filsafat pernyataan itu karena Gereja mengerti bahwa “Perjamuan Kudus itu bersifat mysterion, itu sebabnya hal yang dapat dikatakan oleh Gereja adalah “mengaminkan” dan setuju bahwa itu memang benar-benar tubuh dan darah Kristus.

Disebutkan disana kata-kata “Darah Perjanjian”, yang dalam bahasa Yunaninya adalah “TO AIMA MOU, TO TES KAINES DIATHEKES” artinya “Darah Perjanjian Baru” dan bukan “Darah Perjanjian” saja.

Jadi perjanjian baru itu secara esensi adalah Perjamuan Kudus itu sendiri. Sedangkan tulisan-tulisan mereka (para penulis Injil dan surat-surat para rasul) disebut sebagai Perjanjian Baru karena yang menulis itu ada disekitar cawan Perjamuan Kudus.
Karena mereka (para rasul) dan orang percaya selalu berada disekitar cawan, maka oleh Gereja dan para Bapa Gereja Perjamuan Kudus dipandang sebagai titik pusat atau inti (core) bersatu- menyatunya orang percaya. Itu sebabnya Js. Paulus dengan lugas menandaskan bahwa : “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (I Korintus 10:17).

Sehingga kalau Gereja Roma Katholik letak kesatuannya pada “Sri Paus”, Islam terletak pada “Adin” dan “Al- Qur’an”, sedangkan Gereja Orthodox Timur yang Katholik dan Apostolik terletak disekitar “cawan (Perjamuan Kudus)” sebagaimana yang ditandaskan oleh Alkitab dan dihidupi oleh Gereja mula-mula / Gereja Perjanjian Baru.
Itu sebabnya bagi mereka yang tidak sepaham dan mempunyai iman yang sama sebagaimana yang dipercayai oleh para rasul dan Gereja, dilarang keras untuk mengambil apa yang dinamakan dengan “Perjamuan Kudus”.

Karena begitu mulia dan sakralnya, Js. Ignatius dari Antiokhia menyebut “Perjamuan Kudus” sebagai “The Medicine of Immortality” atau “Obat ketakbinasaan”.
Dipandang sebagai “The Medicine of Immortality” atau “Obat ketakbinasaan”, karena dengan berpartisipasi dan mengambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus, orang percaya telah menyatu dan masuk dalam kehidupan Kristus. Padahal Kristus itu secara esensi sebagai “Firman” yang bersifat kekal dan tak dapat binasa, dengan demikian kehidupan Kristus yang bersifat kekal melalui kuasa Roh Kudus telah menjadi bagian dalam hidup orang percaya.

Berpijak dari sinilah, maka dapat dimengerti mengapa ketika Yesus dicobai iblis itu mengatakan : “Manusia hidup bukan hanya dari roti saja, tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah” (Matius 4:4).
Artinya bukan segi jasmaniah yang ditekankan, walaupun tak dapat dipungkiri bahwa makanan itu sangat penting karena tanpa makan manusia itu dapat mati, namun yang Yesus ingin tonjolkan disini adalah sisi rohaniah, bahwa melalui “Firman Allah” manusia itu dapat hidup.

Dan arti hidup disini adalah hidup kekal. Padahal Firman yang nuzul – inkarnasi (Yohanes 1:14) menurut Injil Yohanes 6:48 telah menyatakan DiriNya sendiri sebagai “Roti Hidup”, dengan demikian jelas bahwa bukan roti biasa atau “Common Bread” yang mampu mendatangkan hidup kekal, tetapi roti yang menghadirkan tubuh dan darah Kristus (Perjamuan Kudus) itulah yang mampu dan dapat mendatangkan rahmat Ilahi pada manusia yaitu “Hidup kekal” (Yohanes 6:54). Itu sebabnya Js. Yustinus Sang Syuhada mengatakan tentang Sakramen Perjamuan Kudus :
Ini bukan roti dan minuman biasa, tetapi ini adalah daging dan darah Sang Sabda menjelma “. [4]

Yang berarti bahwa setiap orang percaya saat mendekati tubuh dan darah Kristus dalam sakramen Perjamuan Kudus seperti telah dijelaskan diatas, harus disertai rasa hormat, rendah hati dengan pengertian yang benar akan arti dan makna Perjamuan Kudus itu, hingga hal itu akan mendatangkan rahmat dan bukan laknat.
Setelah mengerti akan makna dan arti roti atau “Ton Arton”, maka ketika Yesus mengajar “Doa Bapa Kami” dan mengatakan : “Berilah kami pada hari ini makanan (Ton Arton atau roti) kami secukupnya , pada para muridNya, sebenarnya yang dimaksudkan bukan terbatas pada “makanan” atau “roti” yang mampu memberikan kepuasan sesaat, namun makanan atau “Roti” yang mampu dan dapat menyalurkan rahmat Ilahi pada manusia dalam Sakramen Perjamuan Kudus / Ekaristi Kudus.

Meskipun Gereja belum berdiri atau terealisasi saat Tuhan Yesus mengajarkan doa ini, namun berpijak pada doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus ini, tentang isi dan hal-hal yang akan dilakukan Kristus dalam Gereja melalui kuasa Roh KudusNya telah terdeteksi, bahwa Gereja tanpa Sakramen Perjamuan Kudus yang mampu menyalurkan rahmat Ilahi pada manusia itu bukan Gereja, namun itu hanya sekedar himpunan yang tak mempunyai makna.

[1] Archim. George. 1997. The Lord’s Prayer. Mt. Athos. Holy Monastery of St.Gregorios. Hal.31.

[2] Father John of Kronstadt. 1989. Spiritual Counsels. New York. St. Vladimir’s Seminary Press. Hal.43.

[3] Archim. Sophrony. 1975. The Monk of Mount Athos. New York. St. Vladimir’s Seminary Press. Hal. 51.

[4] Yohanes Quasten. 1986. Patrology. Maryland. Christian Classics. Inc. Hal. 215

.... [ bersambung ] ....

Rabu, 13 November 2013

Ulasan Theology "Doa Bapa Kami" (2)

Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.


II. “DIKUDUSKANLAH NAMAMU ...”

Kata “dikuduskanlah” dalam bahasa Yunani adalah kata “AGIASTHETO” yang berarti “disucikan”, sedang Wiliam Barclay mengerti kata “Hallowed” adalah bagian dari kata kerja Yunani “Hagiazesthai”. Dan kata kerja “Hagiazesthai” dihubungkan dengan kata sifat “Hagios” yang berarti “kudus” atau “suci”. Dengan demikian kata “dikuduskan” harus dimengerti sebagai sesuatu yang berbeda dari yang lain, yang dalam bahasa Ibrani disebut “Khados” yang berarti “disendirikan, terpisah atau dalam bahasa Jawa disebut dengan “sineker”.

Berpijak dari arti inilah, maka bukan tanpa tujuan atau maksud Tuhan Yesus mengajar para murid bagaimana seharusnya berdoa.
Pertama harus pada pijakan yang benar,serta mengerti secara hakiki terhadap apa yang dipercayai.

Itu sebabnya Tuhan Yesus memulai dalam doaNya menyebut nama “Bapa”, yang berarti bahwa doa itu tidak dapat dilakukan dengan cara serampangan atau semaunya saja, namun hal itu harus dilakukan dengan penuh khidmat, hening, rasa gentar, rendah hati, rasa sesal dan ketergantungan mutlak pada Dia yang memberi hidup. Dengan mengetahui bahwa sebutan “Bapa” itu bukan hanya sembarang sebutan, namun itu menunjuk pada pribadi Allah yang Maha Agung, Maha Mulia, Maha Kudus, Maha Bijaksana, Maha Mengetahui hati makhlukNya dan Maha Memberi hidup, maka tak ada cara yang tepat untuk mendekati Allah selain datang dengan penuh kagum akan kebesaranNya dan mengucapkan “Dikuduskanlah namaMu”.

Dengan mengatakan “Dikuduskanlah namaMu” mengandung suatu pengertian bahwa orang percaya diajak untuk berhenti “menguduskan atau memuliakan diri sendiri”, karena dengan memuliakan diri sendiri, sebenarnya saat itu juga telah menipu diri sendiri. Pemuliaan diri sendiri tidaklah pernah menguntungkan hidup, namun justru membawa pada malapetaka, kebejatan, kesesatan dan tak pernah dekat dengan Allah.

Itu sebabnya Romo Arkhim. George mengatakan, “Men can not glorify God when they glorify themself.” [1] (manusia tidaklah dapat memuliakan Allah ketika mereka memuliakan diri mereka sendiri). Artinya bahwa ketika manusia memfokuskan hidupnya hanya untuk diri mereka sendiri, maka tak dapat diingkari lagi mereka tak mungkin dapat dan tak mampu memuliakan Allah.

Hal ini karena hidup mereka cenderung untuk memuaskan nafsu mereka sendiri dan mencari ketenaran pribadi dengan beraneka ragam tingkah dan pola serta melupakan Allah sebagai pribadi yang memberi kehidupan.
Yang diajarkan oleh Yesus pada para muridNya memang menghentakkan manusia untuk menyadari akan dirinya bahwa tiada kedamaian serta keteduhan dalam hidup ini kecuali mampu mengekspresilan kasih pada Allah dengan sujud memuliakan dan menguduskan Allah dalam hidup.

Atas dasar inilah Js. Gregorius Palamas mengatakan : “ Man is truly glorified when he glories God ” (manusia sungguh-sungguh dimuliakan ketika ia memuliakan Allah).

Jadi dimuliakan dan tidaknya manusia tergantung pada bagaimana sikap manusia itu sendiri pada Allah. Jika dalam hidup ini tidak dipergunakan sebagaimana mestinya yang dikehendaki oleh Allah, seperti misalnya : berbuat kebajikan pada orang lain, sebagai pendamai, dermawan, sabar, murah hati, kasih setia dan mampu menguasai diri, maka berarti bahwa itu tidaklah mempergunakan hidup itu dengan baik dihadapan Allah atau dengan kata lain tak dapat mempergunakan hidup ini untuk memuliakan Allah.

Disini jelas permasalahannya bahwa memuliakan nama Allah itu bukan hanya terbatas pada kata-kata, namun itu harus diwujud nyatakan dalam tindakan nyata dalam hidup saat ini. Bahkan berbuat baik pada orang miskin itu dipandang sebagai telah berbuat baik atau memuliakan Allah (Matius 25 : 40). Dan memuliakan Allah itu dipandang oleh Js. Gregorius Palamas sebagai cara untuk mendapat kemurahan Allah. Itulah sebabnya tidaklah salah jika Js. Ignatius dari Anthiokia pernah mengatakan bahwa Sang Sabda menjadi manusia, agar supaya manusia dapat menjadi seperti Allah. Artinya bahwa nuzul dan berinkarnasinya Sang Sabda membuka harapan bagi orang percaya yang sungguh-sungguh untuk mengambil bagian dalam kodrat Ilahi atau kemuliaan Allah (II Petrus 1 : 4). Ini merupakan takdir manusia diciptakan sebenarnya, yaitu hidup tak bercacat dihadapan Allah (Efesus 1 : 4).

Dengan demikian jelas bahwa tujuan Yesus mencantumkan kalimat “ dikuduskanlah namaMu “ saat mengajar para muridNya dalam berdoa Adalah untuk menyadarkan sekaligus untuk menegaskan bahwa Allah harus diposisikan sebagai Yang Maha Mulia dan Maha Kudus, hingga tak ada kata yang dapat untuk mengungkapkannya. Dan sebagai rasa kagum atas keagunganNya, timbul rasa kasih dan cinta yang diwujudkan dalam penyembahan (ortholatria) dan hidup yang benar (orthopraxia) dihadapan Allah.

[1] Archim. George. 1997. The Lord’s Prayer. Mt. Athos. Holy Monastery of St.Gregorios. Hal.22.


III. “ DATANGLAH KERAJAANMU ... “



Berita kerajaan Allah dapat dikatakan sebagai pusat daripada pemberitaan Yesus. Ini dikarenakan berita tentang kerajaan Allah merupakan suatu visi dan misi serta untuknya Sang Sabda itu nuzul dan berinkarnasi ke jagad (Lukas 4 : 43). Dimana Yesus itu berada tak pernah berhenti untuk menyampaikan berita tentang kerajaan Allah (Lukas 8 : 1). Bahkan ketika Yesus berbicara dengan orang Farisi, menegaskan bahwa kerajaan Allah itu tidak disertai dengan tanda-tanda jasmaniah, karena menurut Tuhan bahwa kerajaan Allah itu ada diantara mereka (Lukas 17 : 20-21). Disisi lain kerajaan Allah itu dipandang sebagai orang makan bersama (Lukas 13: 29), dan nasih banyak lagi ungkapan yang menyatakan tentang “kerajaan Allah” (Matius 8 : 12 ; Lukas 18 : 24 ; Matius 12 : 28 ; Matius 3 : 2).
Meskipun banyak kata yang menyebutkan kata “kerajaan”, tetapi disana tidak dijelaskan secara eksplisit tentang arti dan makna KERAJAAN ALLAH.  Dan untuk mengerti akan arti “KERAJAAN ALLAH”, maka diperlukan penyelidikan tentang data-data yang ada dalam INJIL.
Js. Matius dalam Injilnya menuliskan bahwa : “ Bertobatlah, sebab kerajaan Allah / kerajaan sorga sudah dekat “ (Matius 3 : 2).
Disisi lain Js. Lukas menuliskan bahwa : “ Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah, juga orang tidak dapat mengatakan : lihat, ia ada disini atau ia ada disana ! Sebab sesungguhnya kerajaan Allah ada diantara kamu “.(Lukas 17 : 20-21).
Pertobatan atau berpaling dari hidup lama menuju hidup baru, merupakan persyaratan untuk menyambut datangnya kerajaan Allah. Padahal pemberitaan yang Js. Yohanes pembaptis emban itu adalah berita tentang datangnya Yesus Kristus, bahkan ditegaskan pula untuk melepaskan kasutNyapun ia tak layak, dengan semikian yang dimaksud “ kerajaan Allah “ itu adalah “ pribadi Yesus Kristus “. Dan datangnya kerajaan itu tak terkait dengan tanda-tanda lahiriah, yang oleh Js. Paulus ditegaskan bahwa “kerajaan Allah “ itu bukanlah masalah makanan dan minuman, namun terkait dengan kebenaran, damai sejahtera dalam Roh Kudus (Roma 14 : 17), jika ini dikaitkan dengan Injil Yohanes 14 : 6, terungkaplah sudah bahwa “ kerajaan Allah “ yang dimaksud itu adalah “pribadi Yesus Kristus“, karena disana Yesus sendiri menegaskan bahwa “ DiriNyalah “ kebenaran itu sendiri.
Itu sebabnya tidaklah heran jika Yesus mengatakan pada orang-orang Farisi bahwa “ kerajaan Allah ada diantara kita “.

Dalam Gereja Orthodox yang merupakan kesinambungan tanpa putus dari Gereja mula-mula, mengerti bahwa Gereja itu adalah kerajaan Allah di atas bumi. Itulah sebabnya Romo Soterios, Episkop Agung (Reksagama / Uskup Agung) dari Gereja Tuhan mengatakan : “ The Church is the treasury of truth and divine grace. It is the ask of the salvation of man. It is the kingdom of  God on earth “. [1]
Kalau “ kerajaan Allah “ dimengerti sebagai “ GEREJA “, pertanyaannya adalah : “Apakah korelasi antara “KRISTUS” dan “GEREJA”, yang sama-sama dipandang sebagai “ KERAJAAN ALLAH “ ?.
Tentu saja ada suatu kaitan yang erat bahkan boleh dikatakan sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dikatakan bahwa antara Kristus dan Gereja tak boleh dipisahkan, karena menurut Js. Paulus bahwa Kristus itu adalah sebagai kepala jemaat atau “ CHRISTOS KEPHALE TES EKKLESIAS“ (Efesus 5 : 23).
Dengan demikian baik pandangan Alkitab maupun para Bapa Gereja bahwa “kerajaan Allah “ itu dipandang sebagai “GEREJA” tidaklah bertentangan satu sama lain. Berpijak dari sinilah, bukan sesuatu yang mengherankan bahwa dalam liturgi Gereja Orthodox diawali dengan kata-kata : “Terberkatilah kerajaan Sang Bapa, Sang Putera serta Sang Roh Kudus, sekarang dan selalu serta sepanjang segala abad. “. [2].

Gereja dipandang sebagai “’kerajaan Allah” karena dalam Gerejalah pembaharuan dan pengudusan itu telah terjadi. Pembaharuan dan pengudusan itu terjadi dalam Gereja berdasarkan makna inkarnasi Sang Sabda.
Menurut pandangan Gereja dan Alkitab, sebelum Sang Sabda itu nuzul dan menjelma (inkarnasi) menjadi manusia dengan sebutan Yesus Kristus, dari kekal sampai kekal Dia itu berada dalam Allah. Padahal Injil Yohanes menegaskan bahwa Allah itu bersifat Roh (Yohanes 4 : 24 ), maka dengan demikian Firman atau Kalimatullah yang berada dan diam dalam Allah bersifat Roh juga (Yohanes 10 : 30 ; 8 : 42), berarti Firman yang berada dan berdiam dalam Allah itu tak bertubuh jasmani, tak bertulang dan tak berdaging. Sang Sabda yang tak bertubuh jasmani itu atas kehendak Allah dalam DiriNya sendiri, telah menjelma menjadi daging (manusia) atau “ SARX EGENETO “ (Yohanes 1 : 14), dengan demikian Sang Sabda telah mengenakan keberadaan baru yaitu keberadaan sebagai manusia dan keberadaan tidak ada sebelumnya dalam diri Sang Sabda (Yohanes 1 :1-2). Dan dengan dikenakannya keberadaan baru yatu keberadaan jasmani dalam DiriNya, maka yang jasmani (benda jasmani) itupun telah diperbaharui, disucikan dan dikuduskan. Oleh karena itu dalam Gereja mula-mula atau lebih dikenal dengan sebutan Gereja Orthodox yang Katholik dan Apostolik, dapat dilihat dengan jelas bahwa benda-benda jasmani dapat dijadikan sarana oleh Allah untuk menyalurkan rahmatNya pada manusia, suatu misal : roti dan anggur dapat dijadikan sarana untuk menyalurkan rahmat Ilahi pada manusia dalam sakramen Perjamuan Kudus / Ekaristi Kudus (Matius 26 : 27-28), air dapat dijadikan sarana menyalurkan rahmatNya pada manusia dalam sakramen Baptisan (Roma 6 : 3-4), minyak dapat dijadikann sarana untuk menyalurkan rahmat Ilahi dalam sakramen Perminyakan Kudus (Yakobus 6 : 14), begitu juga cat dan kayu-kayu dapat dijadikan sarana untuk menyalurkan rahmatNya untuk melihat eskatologi dan Gereja yang tak nampak / Gereja yang jaya dalam ikon-ikon (gambar kudus) (I Yohanes 1: 1).
Jadi jelas berdasarkan makna inkarnasi benda-benda jasmani telah tertebus dan itu terjadi dalam Gereja. Itulah sebabnya tak dapat disangkal lagi bahwa bentuk  dan keindahan dalam Gereja mula-mula dengan ikon-ikonnya, lilin, lampu-lampu yang bergemerlapan, keindahan jubah liturgi yang dikenakan imam dan bau mewangi dari dupa ukupan itu nampak bagaikan sorga di atas bumi

Sehingga tidak mengherankan ketika pada sekitar tahun 980, para utusan Pangeran Vladimir yang Agung dari Kiev, Rusia, yang mengadakan penyelidikan dari semua agama yang ada, sepulang dari mengikuti Liturgi Suci di Gereja Aghia Sofia di Konstantinopel, Byzantium (sekarang : Istambul, Turki) mengatakan tentang tata ibadah suci tersebut : “ Kami tidak mengetahui apakah kami ada di atas bumi atau di dalam sorga “. Sebagai hasil Pangeran Vladimir dibaptis di Konstantinopel dan pada tahun 988 beribu-ribu bangsa Kiev dibaptis di sungai Dnieper, Rusia memasuki era kekristenan Orthodox dan Pangeran Vladimir dari Kiev dikanonkan sebagai seorang Janasuci yang dihormati oleh Gereja Barat (Roma Katholik) maupun Gereja Timur. Disinilah kesakralan, rahmat dan bahkan kuasa Allah melalui Sang Roh Kudus dinyatakan (Matius 12 : 28).
Dengan mengetahui bahwa arti “kerajaan Allah” itu menunjuk pada “GEREJA”, maka dalam “Doa Tuhan”, yang menyebutkan kata-kata “Datanglah kerajaanMu”, menunjuk pada artian bahwa Allah dalam diri Yesus Kristus telah mengantisipasi akan terbentuknya “GEREJA” di atas bumi, meskipun pada saat berbicara itu Gereja Tuhan itu belum terbentuk, karena Gereja itu lahir setelah Tuhan Yesus disalib, mati, dikuburkan, bangkit, naik ke sorga dan Roh Kudus turun pada hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2).
Antisipasi akan terbentuknya GEREJA di atas bumi itu terlihat dari ungkapan Tuhan Yesus sendiri yang ditujukan pada Js. Petrus bahwa : “ Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaatKu dan alam maut tidak menguasainya “ (Matius 16 : 18).
Jadi kata-kata Tuhan Yesus itu untuk menegaskan adanya Gereja di atas bumi dan para rasul sebagai fondasinya (Efesus 2 : 20).   


[1] Bishop Soterios. 1991. Catechism (Basic Teachings of the Orthodox Faith).Canada. The Greek Orthodox

   Diocese of Toronto.Hal. 74.




[2] ______________. 1998. Liturgy Suci Js. Yohanes Krisostomos. Surakarta. Kantor Pusat Gereja Orthodox

  Indonesia. Hal. 3.

.... [ bersambung ] ....