Rabu, 13 November 2013

Ulasan Theology "Doa Bapa Kami" (1)


Oleh : Romo Yohanes Bambang MTS

PRAKATA

Doa Bapa Kami atau Doa Tuhan (The Lord’s Prayer) yang pada Gereja Barat dikenal sebagai doa Pater Noster diajarkan sendiri oleh Tuhan Yesus pada para muridnya. Doa ini nampaknya kurang diminati oleh banyak orang, bahkan pada beberapa denominasi gereja dalam tata ibadahnya tidak mencantumkan doa Bapa Kami ini.
Ini semua dapat dimengerti, dan itu terjadi karena ketidaktahuan mereka akan makna dan arti doa Bapa Kami.
Dalam Gereja mula-mula atau lebih dikenal dengan sebutan Gereja Orthodox Timur/ Gereja Timur, doa Bapa Kami atau doa Pater Imon adalah bagian dalam liturgi Gereja.
Dan bahkan dalam ibadah-ibadah (bukan liturgi ) Gerejapun, doa ini juga diikut sertakan.
Hal ini dikarenakan Gereja mengerti secara jelas makna dan arti doa ini.
Dan melalui buku kecil ini, penulis ingin menjelaskan secara teologis tentang doa ini. Sehinggga pembaca dapat mengerti secara jelas dan akhirnya menyadari bahwa betapa pentingnya doa Bapa Kami ini. Karena dalam doa ini antisipasi akan terbentuknya Gereja dapat dilihat, serta apa yang akan terjadi dalam Gerejapun dapat terdeteksi.
Itu sebabnya harapan penulis, semoga melalui buku ini pembaca dapat mengagumi Allah atas karyanya yang begitu besar di jagad ini.

Latar belakang Tuhan Yesus mengajar doa pada para muridnya diawali dengan dilihatnya cara doa orang-orang Farisi yang terkesan hanya mencari pujian dan arogan (Matius 6:5).
Padahal hakekat doa harus disertai sikap rendah hati , tulus dan bermotif benar dihadapan Allah. Itu sebabnya Yesus mengatakan, “Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada ditempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Matius 6:6).

Dari sini terlihat bahwa berdoa tak perlu harus dilihat oleh orang, agar mendapat pujian dan nampak saleh, namun hal yang terpenting adalah bahwa berdoa itu perlu terlandasi adanya sikap yang murni serta memfokuskan hati dan batin pada Allah dengan tidak membiarkan pikiran melayang-layang kesana- kesini. Tetap menyatukan hati dan pikiran untuk menuju pada penyatuan dengan yang Ilahi. Dengan demikian jelas bahwa doa itu perlu adanya bahasa keheningan atau “silence languange” dan tak perlu berteriak-teriak seakan-akan Allah tak mendengar jeritan umatnya, karena Js. Matius mengungkapkan bahwa ,“Bapamu yang melihat yang tersembunyi” artinya Allah mengetahui jeritan doa batin terdalam yang diungkapkan oleh umatNya.

Dan lagi Js. Matius juga mengatakan, “Jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu” yang berarti bahwa dalam berdoa “bukan untaian kata-kata yang indah “ yang menjadikan doa itu didengar oleh Allah, namun keheningan, ketulusan batin yang disertai oleh penyerahan diri mutlak pada Sang Khaliklah yang menjadikan doa itu layak dihadapan Allah.

Dengan demikian jelas bahwa ada spiritualitas yang berbeda antara cara orang Farisi berdoa dan pengikut Kristus.


I.“ BAPA KAMI YANG DISURGA ...”

Sebutan "Bapa"
Doa yang diajarkan Kristus pada para muridNya diawali dengan kata “Bapa”. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan ingin memperlihatkan sesuatu yang lebih mulia, agung dan luarbiasa sebelum sesuatu yang lainnya.
Sebutan “Bapa” sebagai awal pembukaan doa Bapa Kami ini mengandung makna yang luar biasa, karena dengan sebutan itu manusia diajak untuk melihat, sekaligus untuk menyadarkan bahwa betapa pentingnya mengetahui “Sangkan Paraning Dumadi” atau “’Asal-usul dan tujuan “ makhluk hidup.

Dalam kitab Perjanjian Lama dijelaskan begitu gamblang bahwa makna sebutan “Bapa” itu adalah sebagai sumber atau asal-usul munculnya segala sesuatu. Ini jelas terlihat dari ungkapan Nabi Yesaya dalam kitabnya bahwa : “Bukankah Engkau Bapa kami?...ya Tuhan, Engkaulah Bapa kami, namaMu ialah penebus kami ... “ (Yesaya 63:16).

Sebutan Bapa yang diperuntukkan bagi Allah tidaklah dikaitkan dengan masalah biologis, namun itu lebih menunjuk pada karyaNya yaitu sebagai “Penebus”. Bukan hanya terbatas sebagai “Penebus”, namun sebutan “Bapa” itu mengarah lebih dalam lagi yaitu sebagai “Sang Sangkan” atau “Asal-usul” terjadinya segala sesuatu. Hal ini ditandaskan oleh Nabi Yesaya bahwa : “Tetapi sekarang ya Tuhan, Engkaulah Bapa kami ...Engkaulah yang membentuk kami...” (Yesaya 64:5).

Hal senada juga diungkapkan oleh Raja Daud dalam kitab Zaburnya bahwa : “Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun- temurun sebelum gunung-gunung dilahirkan dan bumi dan dunia diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah” (Mazmur 90:1 –2).

Disini Allah diposisikan seakan-akan sebagai seorang ibu yang “melahirkan” dan “memperanakkan”, namun hal itu sekali lagi tak dapat dijadikan sebagai suatu dasar bahwa Allah berjenis kelamin perempuan (band. Yohanes 4:24), karena kata “dilahirkan” dan “diperanakkan” dalam ayat ini, adalah mempunyai pengertian bahwa Allahlah yang memunculkan dan sumber adanya segala sesuatu atau dengan istilah yang lebih dikenal bahwa “Allahlah sebagai pencipta segala sesuatu”.

Sebagaimana telah diakui bersama bahwa Allah yang Maha Mulia itu, bukanlah Allah yang bersifat plin-plan atau mudah menghapuskan serta melupakan apa yang pernah dinyatakan. Allah itu setia terhadap apa yang telah dinyatakan, itu sebabnya pernyataan atau ungkapan dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidaklah bertentangan dalam hal menyatakan atau mengungkapkan keberadaan “Bapa”, namun justru hal itu lebih menegaskan adanya benang merah yang tak terputuskan yang menunjukkan bahwa pernyataan itu dinyatakan oleh Pribadi yang sama – Allah.

Dalam Perjanjian Baru, Js. Paulus mengatakan dalam suratnya kepada Gereja di Korintus bahwa : “Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang daripadaNya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dialah kita hidup ... “ (I Korintus 8:6).
Disisi lain Tuhan Yesus menegaskan bahwa : “Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak ... “ (Matius 11:25).

Arti penyebutan “Bapa” disini seperti telah dijelaskan diatas tidaklah menunjuk pada “jenis kelamin”, karena memang Allah itu tak berjenis kelamin, Allah itu bukan laki-laki, Allah itu bukan perempuan, Allah itu bukan tua, Allah itu bukan muda, Allah itu bukan besar dan kecil, sebab memang Allah itu bersifat ghoib dan Roh (Yohanes 4:24), namun itu lebih bersifat yang menunjuk pada aktifitas Allah dan segi hubungan yang ada di dalam diri Allah itu sendiri.

Terkait dengan sifat aktifitas Allah, Js. Maximus Sang Pengaku Iman mengatakan : “Dengan adil Tuhan mengajar (mereka yang berdoa) untuk memulai secara tepat dan teologis. Ia juga memperkenalkan kita pada jalan misteri sebab yang telah menciptakan segenap makhluk. Ia yang sesungguhnya penyebab dari adanya segenap makhluk.”[1]
Sesuai dengan pernyataan Alkitab, Sang Janasuci tersebut selanjutnya dengan tegas menyatakan bahwa : “Allah itu adalah sebagai penyebab adanya segenap makhluk”, artinya ia tidak menyangkal bahwa Allah itu adalah “Sang Sangkan” atau “Pencipta” manusia dan jagad.

Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa sebutan “Bapa” itu tidak hanya terbatas pada aktifitas Allah, namun juga hubungan Allah pada DiriNya sendiri. Ini jelas terlihat dari pernyataan Injil Yohanes bahwa : “ ... jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Bapa ...” (Yohanes 8:42).
Artinya “Bapa” disini berdiri sebagai “pokok” atau “sumber” akan “dikeluarkannya” atau “dilahirkannya” Sang Putera dari DiriNya sendiri, karena “Firman” atau “Kalimatullah” itu keluar dari Bapa, maka tak dapat disangkal lagi bahwa “Firman” itu satu “dzat hakekat” atau “essensi” dalam ke-Allahan, demikian juga dengan “Roh Kudus” (Yohanes 15:26). Dengan demikian dari kekal sampai kekal di dalam Bapa tinggallah Sang Firman dan juga Sang Roh Kudus. Jadi jelaslah letak keesaan atau ketauhidan Allah bukan terletak pada essensiNya, namun terletak pada Diri Sang Bapa (Yohanes 10:30;1:1).

Sebutan "Bapa Kami"
Kalau sebutan “Bapa” itu kait-mengkait dengan posisiNya, sebagai penebus, pencipta, asal-usul adanya segalah sesuatu dan pokok atau sumber dari mana datangnya Sang Firman dan Sang Roh Kudus, kemudian apa arti dan makna sebutan “Bapa Kami” yang tertera dalam doa Bapa Kami?.

Arti “Bapa Kami” itu menunjuk pada artian bahwa Allah itu bukan hanya “Bapanya Sang Firman” (sumber diam dan keluarnya Sang Firman), namun juga “Bapa” setiap orang percaya didalam Kristus walaupun harus diakui itu bukan secara “essensi” namun melalui adopsi.
Orang percaya menyebut Allah sebagai “Bapanya”, bukan karena mereka itu diam dan keluar serta satu essensi sebagaimana Sang Firman dan Roh kudus dalam Bapa (Yohanes 8:42;15:26), namun mereka menyebut Allah sebagai “Bapa” karena percaya dan manunggal dengan Kristus melalui sakramen baptisan dalam GerejaNYa yang kudus. Meskipun harus diakui disini bahwa saat Yesus mengajar doa pada para muridNya ini GEREJA belum terbentuk, namun antisipasi dan rencana didirikannya Gereja Kudus telah ada dalam benak Kristus.

Js. Paulus dalam suratnya yang ditujukan pada jemaat di Roma mengatakan : “ ... Tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematianNya? Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demukian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru ... “ (Roma 6:3 – 4).

Tidak nampak di sini bahwa baptisan itu adalah “lambang” disatukannya orang percaya pada kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Yang jelas dilihat disini bahwa “baptisan” itu adalah merupakan sarana dipersatukannya kita dengan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus melalui kuasa Roh KudusNya, sehingga orang percaya dapat mengenakan Kristus dalam hidupnya (Galatia 3:27).

Padahal menurut pengertian Gereja dan para Bapa Gereja, sekalipun Sang Sabda telah menjelma menjadi manusia (Yohanes 1:14), namun Kristus secara essensi sebagai Sabda itu tak pernah terpisah dan tetap tinggal di dalam Sang Bapa bersama-sama Sang Roh Kudus dari kekal sampai kekal. Dengan demikian orang percaya menyebut Allah sebagai “Bapa” atas dasar penyatuannya dengan Kristus melalui sakramen baptisan di dalam GEREJA (Galatia 3:26-29).

Karena sebutan “Bapa” itu tidak menunjuk pada jenis kelamin, meskipun timbulnya sebutan bapa-bapa secara jasmani itu muncul sebagai refleksi akan sebutan “Bapa” yang dikenakan pada “Allah”, maka dengan demikian tempat tinggal Allah itu bukan di tempat hina, namun tempat Maha Kudus yaitu “SORGA”.
Setelah menyoroti secara teologis akan makna ungkapan “Bapa kami yang di sorga” dalam pembukaan doa yang diajarkan Tuhan Yesus pada para muridNya, maka dapat dipastikan mengapa dalam mengajarkan doa itu diawali dengan sebutan “Bapa kami yang di sorga”. Ini tak lain dan bukan bahwa Tuhan Yesus ingin menunjukkan adanya suatu kedekatan hubungan antara orang percaya dengan Allah. Dan hubungan dekat ini terjadi karena percaya dan menyatu dengan Kristus melalui sakramen dalam Gereja.
Dengan menyebut Allah sebagai “Bapa” ini, merupakan suatu anugerah yang luar biasa bagi orang percaya, sehingga melaluiNya perhatian, perlindungan, kasih dan hidup dapat dirasakan segenap orang percaya yang sungguh dalam Kristus.
Salah satu perhatian yang Allah berikan dalam diri orang percaya adalah dengan tidak membiarkan orang percaya sendirian, artinya dengan menyebut Allah sebagai “Bapa” menunjuk pada realita bahwa “orang percaya” itu bukanlah anak-anak yatim. Kehidupan orang percaya selalu mendapat kasihNya dan langkah-langkahnya mendapat petunjuk, ilham, inspirasi dan terang Ilahi, sehingga hidup orang percaya dapat dan mampu “mengejawantahkan” atau “mengekspresikan” hidup Allah dalam hidup ini.

Dengan demikian jelas, Doa Tuhan diawali dengan kalimat “Bapa kami yang di sorga”, disamping untuk menjelaskan bahwa Allah itu sebagai penebus, asal-usul segala sesuatu, hubungan Allah pada DiriNYa sendiri dan antisipasi adanya Gereja, juga menjelaskan kedekatan hubungan orang percaya dan Allah melalui iman dan menyatu dengan Kristus melalui kehidupan sakramental Gereja.

[1]Archim. George. 1997. The Lord’s Prayer. Mt. Athos. Holy Monastery of St.Gregorios. Hal. 13.

........ [  bersambung bagian 2 ] .....