Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.
VI. “ DAN AMPUNILAH KAMI AKAN KESALAHAN KAMI,,SEPERTI KAMI JUGA MANGAMPUNI ORANG YANG BERSALAH KEPADA KAMI … “
Mengampuni kesalahan orang lain bukanlah suatu pekerjaan yang mudah karena hal itu kait-mengkait dengan batin yang terdalam. Sepanjang manusia dalam hidupnya mementingkan dirinya sendiri, dan membiarkan egonya berkembang rasanya sukar bagi dia untuk dapat mengampuni orang lain.
Jalan satu-satunya bagi manusia untuk dapat mengampuni orang lain adalah memberikan tempat bagi Allah dalam batinnya untuk beroperasi dan mengarahkan jalan hidupnya sebagai mana yang dikehendaki oleh Allah.
Padahal seperti halnya ditegaskan oleh Js. Yohanes Sang Rasul, bahwa Allah itu kasih (I Yohanes 4 : 8), maka jelas bahwa didalam Diri Allah tidak ada apa yang dinamakan dengan dendam, menyimpan kesalahan orang lain, egois, dan kejam, yang ada di dalam Allah adalah cinta kasih, melupakan kesalahan, perhatian dan ramah pada orang lain.
Karena sifat Allah yang demikian inilah, tak dapat disangsikan lagi bahwa Allah siap memberikan pengampunan pada orang yang berbuat dosa padaNya, yang dalam Injil Matius digambarkan bagaikan seorang raja yang memberikan pengampunan dan membebaskan segenap hutang hambanya (Matius 18 : 27).
Sebagai ganti akan kebaikan Allah, seharusnya sikap kasih dan pengampunan serta tak berbuat jahat pada sesama perlu diwujudnyatakan, sehingga kasih, anugerah dan rahmat tak diambil kembali oleh Allah (Matius 18 ; 32-34).
Pada Injil yang sama Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa : “ … kasihlah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 19:19 ; 22:39).
Jadi mengasihi manusia oleh Tuhan dipandang sebagai refleksi mengasihi diri sendiri. Itu sebabnya bagi orang yang sadar tak akan mau dan benci terhadap sikap : egois, dendam, kejam, berang dan menangnya sendiri, karena hal itu akan berakibat fatal dan juga menunjuk pada tipisnya cinta (kasih) pada dirinya sendiri.
Dan lagi sifat-sifat tersebut diatas tidaklah mencerminkan keberadaan sebenarnya manusia diciptakan (Kejadian 1 : 26-27).
Berpijak dari dasar manusia dicipta sebagi “Gambar dan Rupa Allah”, maka tak wajar bahwa manusia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan sifat dan karakter Allah. Wajarnya manusia dalam hidupnya memantulkan sifat dan keberadaan Allah dalam DiriNya sendiri. Padahal Allah dalam DiriNya sendiri ada dalam jalinan kasih dari kekal, berarti sebagai makhluk yang dicipta menurut gambarNya harusnya selalu berkomunikasi dan mengasihi sesama manusia.
Itu sebabnya membenci, dendam dan tak mau memberi pengampunan pada orang lain yang bersalah dianggap sebagai suatu pengingkaran pada dirinya sendiri, karena seharusnya manusia itu saling berbagi dalam kasih, sebagaimana yang terjadi pada Allah dalam DiriNya sendiri.
Dalam pemandangan Gereja dan para Bapa Gereja, jika seseorang tak dapat berbagi dan mengasihi orang lain, maka orang itu tak dapat dikatakan sebagai “manusia yang lengkap /utuh”.
Artinya bahwa sebagai makhluk yang dicipta menurut gambar Allah selalu ada keterkaitan dengan makhluk yang lain, karena yang dikatakan bahwa “Manusia itu Gambar Allah” (Kejadian 1 : 26-27), itu bukan berdiri pada dirinya sendiri, namun menyangkut seluruh totalitas manusia di jagad ini.
Dari sini jelas bahwa sifat egois, dendam, marah, jahat dan kejam terhadap orang lain dipandangnsebagai suatu “penghinaan”, karena Allah menciptakan manusia bukan untuk melakukan sifat dan karakter yang demikian itu.
Allah menciptakan manusia itu, agar manusia dapat merasakan hubungan Allah dalam DiriNya sendiri, yang berarti dalam hidup manusia harus dapat menciptakan kesejahteraan dan kedamaian bagi orang lain. Artinya tidak ada perselisihan dan konflik diantara manusia.
Dalam “Doa Tuhan” ini juga dikatakan : “Dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah pada kami”. Artinya bahwa Tuhan ingin mengajar para muridNya untuk selalu memberikan pengampunan pada orang lain, sebagaimana Allah juga telah mengampuni mereka (I Yohanes 4:19).
Jadi “pengampunan” atau “Forgiveness”itu sifatnya “Horizontal” dan “vertikal”. Dan ini identik dengan masalah “kasih”, bahwa “kasih” itu sifatnya juga “horizontal” dan “vertikal”.
Ini jelas ditandaskan oleh Js. Yohanes Sang Rasul bahwa, jikalau seorang berkata : “Aku mengasihi Allah, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya” (I Yohanes 4:20).
Yang dimaksud disini adalah, mengasihi yang berarti tak membenci orang lain, merupakan bukti bahwa seseorang dapat juga mengasihi Allah yang tak kelihatan. Dan jangan katakan kita dapat mengasihi Allah, jika dalam realita hidup ini selalu membenci saudaranya / orang lain.
Berpijak dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa kasih adalah merupakan “fondasi” bagi manusia untuk dapat memberikan pengampunan atas kesalahan orang lain, padahal kasih itu milik dan sifat Allah. Itu sebabnya agar sifat kasih dapat tenggelam dalam dada, penyatuan dengan Allah melalui sakramen dalam Gereja sangat diperlukan. Karena dengan penyatuannya itu, sifat dan karakter Allah melalui kuasa Roh Kudus akan menjadi bagian dalam hidup.
Js. Nikodimos dari Gunung Athos, memandang bahwa “kasih” harus selalu diimbangi dengan sikap penyesuaian diri dan berusaha untuk melayani, dan ini nyata sekali dari kata-katanya bahwa :
“Barangsiapa mengasihi seseorang, umumnya ia berusaha untuk melayani orang itu, demikian juga kalau seseorang mengasihi Allah, wajarnya ia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehendakNya“. [1]
Dari kata-kata ini jelas, bahwa “kasih” tak mengutamakan diri sendiri, namun lebih mengedepankan kepentingan pribadi yang dikasihi. Dan kasih yang benar itu tak menuntut suatu imbalan, namun justru mau merendahkan hati dengan wujud mau melayani dan menyesuaikan diri dengan kehendak yang dikasihinya, yaitu Allah. Jika prinsip hidup orang percaya ingin mengasihi pribadi lain, maka disana tak terbesit sedikitpun untuk tetap menyimpan kesalahan dan tak mau mengampuni orang yang bersalah pada dirinya. Dengan demikian jelas, bahwa “Doa Tuhan” yang diajarkan pada para muridNya agar “mengampuni kesalahan orang lain sebagaimana Allah telah mengampuni kesalahan mereka”, disamping menunjuk pada kenyataan bahwa diciptakannya manusia itu untuk memantulkan sifatNya, juga untuk menyatakan bahwa manusia tak dapat hidup pada dirinya sendiri, sehingga mengampuni kesalahan orang lain sangat ditekankan, karena hal itu menuju pada kesatuan , keutuhan dan kasih, dan ini telah terjadi dalam Gereja (Kolose 3:11), dan terwujud dalam apa yang dinamakan Gereja yang satu, kudus, Katholik dan Apostolik.
. . . . [ bersambung ] . . . .
[1] Kallistos Timothy Ware. 1986. The Philokalia. Winchester. Faber and Faber.Hal. 84.