Kamis, 14 November 2013

Ulasan Theology "Doa Bapa Kami" (3)


Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS. 

IV. “ JADILAH KEHENDAKMU DI BUMI SEPERTI DI SORGA ... “


Agaknya sulit untuk dinyatakan kehendak Allah di bumi, jika melihat keberadaan manusia yang telah terkontaminasi oleh dosa, neraka dan iblis. Manusia cenderung untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah dan berbuat sesuatu yang mencerminkan keadaan batinnya yang telah rusak (Markus 7 : 20-22). Hidup manusia bagaikan kuda lepas kendali, berbuat semaunya saja, tak terkontrol dan tak tahu arah tujuan hidup.

Memang dalam keadaannya yang rusak dan berdosa, tak mungkin manusia mampu merefleksikan kehendak atau hidup Allah dalam dirinya. Namun jika ditinjau dari makna dan arti inkarnasi atau Sang Sabda nuzul menjadi manusia, hal yang tak mungkin dilakukan oleh manusia menjadi mungkin hingga wahana baru terefleksinya hidup Allah muncullah di jagad ini.

Dikatakan bahwa nuzulnya Sang Sabda menjadi manusia (Yohanes 1 : 14), merupakan jendela atau jalan dimana manusia dapat merefleksikan kehendak Allah, karena sebagaimana telah diajarkan oleh Gereja dan para Bapa Gereja, bahwa Sang Sabda dalam keberadaannya sebagai Firman Allah atau Kalimatullah itu selalu berada dan melekat diam dalam Allah Sang Bapa dari kekal sampai kekal. Padahal sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Js. Yohanes bahwa : “Allah itu Roh” (Yohanes 4 : 24), maka Firman yang tinggal dalam Allah itupun juga bersifat Roh, artinya bahwa Dia itu tidak mempunyai raga, tak mempunyai tulang dan tak mempunyai darah. Firman yang tak mempunyai raga, tulang dan darah itu, atas kehendak Allah dalam DiriNya sendiri telah mengenakan dan mengambil keberadaan baru yang diambil dari tubuh dan darah Sang Perawan Maria (Matius 1 : 23) dalam DiriNya, sehingga Firman yang bersifat Roh itu telah mempunyai keberadaan baru yang sebelumnya tidak ada yaitu keberadaan sebagai manusia (Yohanes 1 : 14).

Dengan dikenakannya keberadaan baru yaitu keberadaan sebagai manusia dalam DiriNya, maka dalam diri Sang Firman mempunyai dua keberadaan yaitu keberadaan Ilahi dan manusiawi.
Oleh karena itulah berdasarkan makna inkarnasi Sang Sabda, maka yang Ilahi dan manusiawi telah bertemu, yang tak kelihatan dan kelihatan telah bertegur sapa dan yang sorgawi serta duniawi telah menyatu. Dengan demikian atas dasar makna inkarnasi inilah "kehendak Allah” telah terejawantakan atau terefleksi dalam dunia melalui diri Sang Sabda menjelma. Karena dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan (Kolose 2 : 9), artinya bahwa dalam diri Sang Sabda menjelma yaitu Yesus Kristus, kehendak dan sifat Ilahi terpantul dalam DiriNya. Ini terbukti bahwa Tuhan Yesus dalam pelayananNya, hal-hal yang dilakukan tak pernah bersebrangan jalan dengan kehendak Sang Bapa dan Sang Roh Kudus. Ini menunjukkan bahwa apa saja yang dilakukan oleh Yesus merupakan kehendak Allah dalam DiriNya sendiri atau lebih jelasnya itu adalah kehendak Sang Tri Tunggal Mahakudus (Yohanes 4 : 34; 5 : 36;10 ; 38; Matius 26 : 39).

Setelah mengerti bahwa Yesus adalah satu-satunya pribadi yang mampu merefleksikan kehendak Allah dalam hidupNya yang jasmani, maka tak ada jalan lain bagi manusia untuk mewujudkan kehendak Allah di bumi seperti halnya di sorga selain daripada menyatu denganNya.
Dan cara menyatu dengan Yesus ditekankan oleh Js. Paulus adalah dengan percaya dan dibaptis (Roma 6 : 3-4, bnd. Markus 16 : 16), karena dalam baptisan orang percaya akan mati dan bangkit bersama Kristus dan dan mengenakan Kristus dalam hidup (Galatia 3 : 27). Artinya bukan keberadaan kita yang nampak tetapi Kristus yang nampak dalam hidup. Jadi penyatuan dengan Kristus melalui sakramen baptisan dalam Gereja merupakan pengalaman yang luar biasa, karena disana orang percaya bukan hanya mengenakan Kristus, namun mengacu untuk mewujudnyatakan sifat dan hidup Ilahi sebagai manifestasi manusia diciptakan.

Dikatakan bahwa baptisan sebagai manifestasi manusia diciptakan karena sebagaimana telah ditandaskan dalam Alkitab bahwa manusia itu diciptakan menurut “gambar dan rupa Allah” (Kejadian 1 : 26-27). Artinya diciptakannya manusia itu agar manusia mampu mewujudnyatakan hubungan Allah dalam DiriNya dan sifat-sifat Ilahi dalam hidup.

Padahal hubungan Allah dalam DiriNya sendiri itu adalah hubungan dalam kasih, karena Bapa tinggal dalam Anak, demikian juga Roh, Roh tinggal dalam Bapa demikian juga Anak, Anak tinggal dalam Roh demikian juga Bapa.
Artinya dalam diri Allah yang Tritunggal itu, tidak ada apa yang dinamakan mengutamakan kehendak DiriNya sendiri, namun kehendakNya adalah kehendak kebersamaan dalam kaitan Tritunggal Mahakudus.

Sebagaimana disebutkan di atas, jika baptisan merupakan manifestasi dikembalikannya tujuan manusia diciptakan (Efesus 1:4; Kejadian 1:26-27). Ini berarti bahwa manusia dituntut untuk hidup sebagaimana Allah hidup yaitu kudus dihadapan Allah (Imamat 19:2 bnd.I Petrus 1:16).
Karena hidup Allah sebagai orientasi manusia hidup, maka mengutamakan kehendak Allah dan bukan kehendak pribadi merupakan tujuan utama umat percaya.

Kait-mengkait dengan ini, Romo Arkhim George menegaskan : “As long as man carries out his own will, he can not find inner peace when he performs God’s will, he is reconsiled with God and finds peace.” [1]

Menyimak apa yang diungkapkan Romo George, bahwa saat orang percaya mengutamakan atau melakukan kehendak Allah dalam hidup ini, disamping kedamaian didapat dan yang lebih penting Allah diam dan menuntun orang percaya melalui kuasa RohNya sebagai manifestasi rujuk dan damainya orang percaya dengan Allah.

Dan mengutamakan kehendak Allah dalam hidup ini, bukanlah hanya sekedar kewajiban karena Allah telah berbuat baik, namun ini adalah wujud cinta kasih dan menundukkan kehendaknya pada Allah yang telah berbuat baik atas dirinya. Itu sebabnya Romo Yohanes dari Kronstadt menegaskan :

Untuk mengasihi Allah dengan segenap jiwa berarti segenap pikiran kita selalu ada dalam Dia, untuk membangun segenap kehendak kita dalam Dia, dan untuk menunduk segenap kehendak kita pada kehendakNya dalam setiap situasi hidup.” [2]

Jadi mengasihi Allah adalah hal yang sangat penting, disamping orang percaya sedang masuk dan mengekspresikan sifat Allah (I Yohanes 4 : 7,16), juga menunjuk pada pengertian bahwa segenap hati dan pikiran orang percaya ada di dalam Allah. Itu sebabnya hidup orang percaya selalu ada dalam ketundukan pada Allah yang memberi hidup.
Penyatuan dengan Kristus melalui sakramen dalam Gereja memang hal yang sangat penting untuk mengetahui kehendak Allah, namun tidak berarti telah usai dan mandeg, karena ada hal lain yang dapat mempertajam batin terdalam untuk mengerti kehendak Allah, yaitu “FIRMAN ALLAH”. Dan berpijak dari sinilah Romo Arkhim Sophrony menyatakan :

Ada beberapa cara untuk mengerti kehendak Allah, yaitu melalui Firman Allah dan perintah Kristus.” [3]

Dikatakan manusia dapat mengerti kehendak Allah melalui Firman, karena di sana tertera banyak hal yang menuntun bagaimana manusia seharusnya hidup diperkenan Allah, dan melalui perintah Kristus karena perintah Kristus itu adalah perintah Allah dalam DiriNya sendiri yaitu Allah Tritunggal Mahakudus.
Jadi melakukan kehendak Allah selalu terkait dan berlandaskan atas kesatuannya dengan Kristus, dan bukan atas kekuatan sendiri. Segala tindakan yang berlandaskan pada kesatuannya dengan Kristus selalu mengarah pada kebenaran, kemurnian, kesucian dan ketundukan mutlak pada Allah.
Dan tindakan yang demikian inilah, sebagai tindakan yang memantulkan sifat dan kehendak Allah di bumi.

Dengan demikian, pada saat Yesus mengatakan : “Jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga” dalam doa yang diajarkan pada para murid, walaupun tak secara langsung sedang mengajak para murid dan orang percaya untuk menyatukan diri mereka denganNya sebagai cara dan jalan satu-satunya untuk memantulkan kehendak Allah di sorga ke bumi.
Ini nampak sekali terlihat dari kata-kata Yesus sendiri : “Kamu adalah terang dunia” (Matius 5:14), dan disisi lain Yesus juga menegaskan : “Akulah terang dunia” (Yohanes 8:12). Artinya bahwa untuk dapat dikatakan sebagai “terang dunia” selalu terkait penyatuannya dengan “Sang Terang Dunia” atau “Yesus” melalui “Sakramen” dalam GerejaNya.

Dari sini jelaslah sudah, bahwa “kehendak Allah dapat terpantul di bumi” melalui diri orang percaya selalu terkait pada masuk dan menyatunya mereka dengan Sang Kristus, karena dalam Kristuslah kehendak Allah ke bumi itu telah terjadi.


V. “ BERIKANLAH KAMI PADA HARI INI MAKANAN KAMI SECUKUPNYA ...”

Kata “makanan” dalam bahasa Yunani “TROPHE”, sebenarnya tidak disebutkan dalam doa yang diajarkan Yesus, namun kata yang dipakai adalah “TON ARTON” yang berarti “Roti”. Dengan alasan yang kurang jelas mengapa “TON ARTON” yang berarti “Roti” dalam doa itu diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia “ menjadi “makanan”, meskipun itu tidak salah, namun bobot arti dan makna teologisnya itu berkurang.

Injil Js. Yohanes memberi suatu penjelasan yang cukup terang tentang makna kata “Roti” dalam Doa Tuhan. “Roti” yang dimaksud disini bukan sekedar roti untuk mengganjal lapar, namun hal itu punya pengertian yang dalam dan mengarah pada seorang pribadi. Dikatakan : “Akulah roti yang telah turun dari sorga” (Yohanes 6:41), jika Yesus mengatakan bahwa DiriNya adalah “Roti yang telah turun dari sorga”, berarti Dia telah mengidentifikasikan DiriNya sendiri dengan roti yang telah diterima oleh bangsa Israel di padang gurun itu. Karena “Manna” atau “Roti” yang diberikan Allah pada bangsa Israel dalam Perjanjian Lama itu adalah bayang samar tentang keberadaan Sang Sabda menjelma yaitu Yesus Kristus.

Yesus mengatakan “Akulah roti yang telah turun dari sorga”, menujuk pada pengertian bahwa sebagai “Firman”, Yesus itu diam dalam Allah Bapa dari kekal, jika Ia berada dalam Bapa dari kekal berarti Ia (Yesus) itu tidaklah termasuk dalam lingkup manusia, namun lingkup Ilahi. Itu sebabnya kata-kata “Akulah roti yang turun dari sorga” adalah mengarah pada DiriNya.

Juga ditekankan oleh Js. Yohanes dalam Injilnya bahwa : “ ... barang siapa makan dari padanya (roti hidup), ia tidak akan mati” (Yohanes 6:50). Artinya bahwa ia yang mengambil dan memakannya bukan kematian yang didapat, namun kehidupan kekal di dalam Allah. Hal ini diakibatkan “Roti” yang dimakan itu bukan hanya sekedar roti, namun itu "Sang Roti” atau “TON ARTON” (The bread) yang berdiam kekal dalam Allah. Jika “Sang Roti” atau “Ton Arton” itu berdiam dalam Allah, maka melaluiNya rahmat dalam kuasa RohNya, orang yang berpatisipasi dan makan dari roti itu akan masuk dalam kehidupan Sang Roti atau “Ton Arton“, sehingga hidup kekal yang dimiliki Sang Roti itu menjadi bagian dalam hidupnya.

Dan “Roti” yang dimaksud oleh Tuhan Yesus disini, tak lain dan bukan adalah dagingNya sendiri, sehingga Gereja dalam sejarahnya banyak mengalami tantangan, karena banyak orang kafir menuduh bahwa orang Kristen itu kanibal. 

Tetapi mereka tidak tahu secara persis bahwa yang dimaksud dengan Yesus bahwa : “Barangsiapa makan dagingKu dan minum darahKu, ia mempunyai hidup kekal ... “ (Yohanes 6 : 56-58), dalam kaitannya dengan Gereja itu tak lain menunjuk pada sakramen Perjamuan Kudus / sakramen Ekaristi Kudus.
Dengan demikian jelas, jika Tuhan Yesus dalam doa “Bapa Kami” ini mengatakan : “Berikanlah kami pada hari ini, makanan (ton arton atau roti) kami yang secukupnya”, meskipun dapat dimengerti secara “harafiah”, namun yang terutama dan terpenting mengarah pada “Sakramen Perjamuan Kudus”.

Kata “secukupnya” itu, artinya “tidak serakah” dan “bersahaja” dalam menerima rahmat dari Allah. Itu sebabnya sikap yang diperlukan saat mendekati “Tubuh dan Darah Kristus” harus disertai rasa hormat, takut dan gentar akan Allah, bersahaja, dan mengerti makna hakiki akan perjamuan kudus serta bukan “Perjamuan Kudus” hanya dianggap sebagai sesuatu yang tanpa makna, sebagaimana yang dilakukan oleh sidang di Korintus saat itu (I Korintus 11 : 21-22).

PerjamuanKudus itu sangat berarti dan penting, karena disana harapan untuk memperoleh hidup kekal itu telah terbuka. Itu sebabnya sangat tak logis jika Perjamuan Kudus itu hanya dianggap sebagai “lambang”, karena kata “peringatan” (Lukas 22:19; I Korintus 11 : 24-25) yang sering dijadikan suatu dasar bahwa Perjamuan Kudus itu lambang, sebenarnya dalam bahasa asli kitab Perjanjian Baru, yaitu bahasa Yunani adalah “ANAMNESIS’ artinya “Menjadikan nyata” atau “Menghadirkan kembali” secara nyata dan kontemporer peristiwa masa lalu yang tak terulang kembali itu, sehingga orang dapat berpartisipasi secara nyata dengan peristiwa yang dimaksud , meskipun hidup dalam waktu, tempat dan abad yang berbeda.

Anamnesis dalam sakramen Perjamuan Kudus adalah membuat hadir peristiwa korban Kristus yang tak terulang itu secara sakramental melalui seruan akan turunnya karya dan kuasa Roh Kudus yang disebut Epiklesis pada saat konsekrasi (anaphora) roti dan anggur.
Jadi dalam sakramen Perjamuan Kudus bukan Kristus dikorbankan berulang-ulang, namun korban yang satu dan yang sama itu dihadirkan oleh Roh Kudus yang tak mengenal waktu itu, sehingga menjadi peristiwa kekal yang menembus dan melintas waktu, yang terus-menerus dapat dialami oleh umat Kristus.
Dan lagi jika itu hanya dianggap sebagai suatu “lambang”, bagaimana mungkin terjadi bahwa seseorang dapat sakit dan bahkan meninggal dunia, jika cara mengambil tidak disertai hati yang benar dan layak dihadapan Allah (I Korintus 11:29-30). 

Disisi lain Yesus juga menegaskan : “Ambillah, makanlah, inilah tubuhKu. Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka dan berkata : Minumlah, kamu semua dari cawan ini. Sebab inilah darahKu, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang” (Matius 26:26-28).
Sekali lagi Yesus tidak menekankan disini bahwa “Perjamuan Kudus” itu lambang tubuh dan darahNya, namun dengan tegas dikatakan “inilah tubuhKu dan inilah darahKu”.
Dan Gereja segala abad tidak mencoba menjelaskan secara filsafat pernyataan itu karena Gereja mengerti bahwa “Perjamuan Kudus itu bersifat mysterion, itu sebabnya hal yang dapat dikatakan oleh Gereja adalah “mengaminkan” dan setuju bahwa itu memang benar-benar tubuh dan darah Kristus.

Disebutkan disana kata-kata “Darah Perjanjian”, yang dalam bahasa Yunaninya adalah “TO AIMA MOU, TO TES KAINES DIATHEKES” artinya “Darah Perjanjian Baru” dan bukan “Darah Perjanjian” saja.

Jadi perjanjian baru itu secara esensi adalah Perjamuan Kudus itu sendiri. Sedangkan tulisan-tulisan mereka (para penulis Injil dan surat-surat para rasul) disebut sebagai Perjanjian Baru karena yang menulis itu ada disekitar cawan Perjamuan Kudus.
Karena mereka (para rasul) dan orang percaya selalu berada disekitar cawan, maka oleh Gereja dan para Bapa Gereja Perjamuan Kudus dipandang sebagai titik pusat atau inti (core) bersatu- menyatunya orang percaya. Itu sebabnya Js. Paulus dengan lugas menandaskan bahwa : “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (I Korintus 10:17).

Sehingga kalau Gereja Roma Katholik letak kesatuannya pada “Sri Paus”, Islam terletak pada “Adin” dan “Al- Qur’an”, sedangkan Gereja Orthodox Timur yang Katholik dan Apostolik terletak disekitar “cawan (Perjamuan Kudus)” sebagaimana yang ditandaskan oleh Alkitab dan dihidupi oleh Gereja mula-mula / Gereja Perjanjian Baru.
Itu sebabnya bagi mereka yang tidak sepaham dan mempunyai iman yang sama sebagaimana yang dipercayai oleh para rasul dan Gereja, dilarang keras untuk mengambil apa yang dinamakan dengan “Perjamuan Kudus”.

Karena begitu mulia dan sakralnya, Js. Ignatius dari Antiokhia menyebut “Perjamuan Kudus” sebagai “The Medicine of Immortality” atau “Obat ketakbinasaan”.
Dipandang sebagai “The Medicine of Immortality” atau “Obat ketakbinasaan”, karena dengan berpartisipasi dan mengambil bagian dalam tubuh dan darah Kristus, orang percaya telah menyatu dan masuk dalam kehidupan Kristus. Padahal Kristus itu secara esensi sebagai “Firman” yang bersifat kekal dan tak dapat binasa, dengan demikian kehidupan Kristus yang bersifat kekal melalui kuasa Roh Kudus telah menjadi bagian dalam hidup orang percaya.

Berpijak dari sinilah, maka dapat dimengerti mengapa ketika Yesus dicobai iblis itu mengatakan : “Manusia hidup bukan hanya dari roti saja, tetapi dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah” (Matius 4:4).
Artinya bukan segi jasmaniah yang ditekankan, walaupun tak dapat dipungkiri bahwa makanan itu sangat penting karena tanpa makan manusia itu dapat mati, namun yang Yesus ingin tonjolkan disini adalah sisi rohaniah, bahwa melalui “Firman Allah” manusia itu dapat hidup.

Dan arti hidup disini adalah hidup kekal. Padahal Firman yang nuzul – inkarnasi (Yohanes 1:14) menurut Injil Yohanes 6:48 telah menyatakan DiriNya sendiri sebagai “Roti Hidup”, dengan demikian jelas bahwa bukan roti biasa atau “Common Bread” yang mampu mendatangkan hidup kekal, tetapi roti yang menghadirkan tubuh dan darah Kristus (Perjamuan Kudus) itulah yang mampu dan dapat mendatangkan rahmat Ilahi pada manusia yaitu “Hidup kekal” (Yohanes 6:54). Itu sebabnya Js. Yustinus Sang Syuhada mengatakan tentang Sakramen Perjamuan Kudus :
Ini bukan roti dan minuman biasa, tetapi ini adalah daging dan darah Sang Sabda menjelma “. [4]

Yang berarti bahwa setiap orang percaya saat mendekati tubuh dan darah Kristus dalam sakramen Perjamuan Kudus seperti telah dijelaskan diatas, harus disertai rasa hormat, rendah hati dengan pengertian yang benar akan arti dan makna Perjamuan Kudus itu, hingga hal itu akan mendatangkan rahmat dan bukan laknat.
Setelah mengerti akan makna dan arti roti atau “Ton Arton”, maka ketika Yesus mengajar “Doa Bapa Kami” dan mengatakan : “Berilah kami pada hari ini makanan (Ton Arton atau roti) kami secukupnya , pada para muridNya, sebenarnya yang dimaksudkan bukan terbatas pada “makanan” atau “roti” yang mampu memberikan kepuasan sesaat, namun makanan atau “Roti” yang mampu dan dapat menyalurkan rahmat Ilahi pada manusia dalam Sakramen Perjamuan Kudus / Ekaristi Kudus.

Meskipun Gereja belum berdiri atau terealisasi saat Tuhan Yesus mengajarkan doa ini, namun berpijak pada doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus ini, tentang isi dan hal-hal yang akan dilakukan Kristus dalam Gereja melalui kuasa Roh KudusNya telah terdeteksi, bahwa Gereja tanpa Sakramen Perjamuan Kudus yang mampu menyalurkan rahmat Ilahi pada manusia itu bukan Gereja, namun itu hanya sekedar himpunan yang tak mempunyai makna.

[1] Archim. George. 1997. The Lord’s Prayer. Mt. Athos. Holy Monastery of St.Gregorios. Hal.31.

[2] Father John of Kronstadt. 1989. Spiritual Counsels. New York. St. Vladimir’s Seminary Press. Hal.43.

[3] Archim. Sophrony. 1975. The Monk of Mount Athos. New York. St. Vladimir’s Seminary Press. Hal. 51.

[4] Yohanes Quasten. 1986. Patrology. Maryland. Christian Classics. Inc. Hal. 215

.... [ bersambung ] ....