Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.
Karena Allah itu kekal, berarti sifat memandang itupun kekal. Apa yang dipandang atau lebih tepatnya : Siapakah yang dipandang dan siapakah yang ditafakuri Allah ini ?. karena tak ada yang lain di luar Allah, karena itu Allah hanya sendiri pada DiriNya saja, maka Allah memandang diriNya Sendiri. Mengikuti pemikiran ini maka dimengerti bahwa dari kekal-azali sampai kekal-abadi “Ho Theos”, Yang Maha Memandang, tak henti-hentinya memandang diriNya karena itulah sifat kekalNya “Ho Theos” itu. Akibat memandang diri secara kekal inilah terjadinya “penampakan diri” atau “tajjali” sehingga Allah melihat “Citra DiriNya”, itulah sebabnya di dalam diri Allah terdapat “Gambar Allah” (Ibr 1:34) serta “Rupa Allah” (Fil 2:5-6) sendiri.
Karena Allah itu kekal, berarti sifat memandang itupun kekal. Apa yang dipandang atau lebih tepatnya : Siapakah yang dipandang dan siapakah yang ditafakuri Allah ini ?. karena tak ada yang lain di luar Allah, karena itu Allah hanya sendiri pada DiriNya saja, maka Allah memandang diriNya Sendiri. Mengikuti pemikiran ini maka dimengerti bahwa dari kekal-azali sampai kekal-abadi “Ho Theos”, Yang Maha Memandang, tak henti-hentinya memandang diriNya karena itulah sifat kekalNya “Ho Theos” itu. Akibat memandang diri secara kekal inilah terjadinya “penampakan diri” atau “tajjali” sehingga Allah melihat “Citra DiriNya”, itulah sebabnya di dalam diri Allah terdapat “Gambar Allah” (Ibr 1:34) serta “Rupa Allah” (Fil 2:5-6) sendiri.
Keberadaan kekal Allah yang tanpa awal dan akhir yang demikian ini adalah “pewahyuan diri Allah” secara kekal didalam DiriNya kepada manusia. Padahal sifat-sifat Allah itu semuanya berada kekal dalam Diri Allah, termasuk sifat menyatakan diri ini. Ini berarti Allah tidak hanya mewahyukan diri sesudah ada manusia. Allah selalu mewahyukan diri, sebelum ada dunia ciptaan, sebelum ada malaikat, dan sebelum ada sesuatu. Karena itu Allah mewahyukan diri kepada DiriNya sendiri sejak kekekalan. Dalam pewahyuan diriNya kepada DiriNya dalam dzat-hakekatNya yang Esa dan kekal inilah Allah memandang “Citra” atau “GambarNya” sendiri (Kol 1:15, Ibr 1:3, II Kor 4:6). Maka terkandung dalam makna kata “Ho Theos” atau “Dia Yang Memandang” itulah dimengerti bahwa Allah itu selalu ada dalam dzat hakekatNya yaitu “GambarNya” yang tak lain adalah “Firman Allah” sendiri. “Gambar Allah” sebagai obyek yang dipandang Allah sejak kekal dalam DzatNya yang Esa itu keluar dari dalam Diri Allah, berarti itu memiliki hakekat yang identik dengan Allah sebab kalau tidak identik berarti itu bukan “Gambar Allah” dengan demikian tidak bisa menjadi obyek Allah untuk “memandang diriNya” sendiri.
Itulah sebabnya “Gambar Allah”atau “Firman Allah” (“Logos”) haruslah identik dzatNya dengan Allah yaitu Iapun berhakekat Allah, “Firman itu adalah Allah” (Yoh 1:1). Karena Firman Allah (“Anak Tunggal Allah”) yang “ada di pangkuan Bapa” (“yang ada didalam dzat-hakekat Allah”) itulah “…yang menyatakan…” Allah (Yoh 1:18), baik kepada manusia setelah adanya waktu, maupun kepada diriNya sendiri secara kekal.
“Pewahyuan Diri Allah” kepada DiriNya sendiri secara kekal inilah yang disebut sebagai “Allah memperanakkan” FirmanNya itu. Itulah sebabnya Wahyu Diri Allah dalam Dzat-HakekatNya yang Esa yang tak lain adalah “Firman Allah” itu sendiri disebut “Anak Allah”, karena lahir secara kekal tanpa awal dan tanpa akhir didalam diri dzat-hakekat Allah yang Esa itu. Oleh karena itu Ia tidak berbeda dalam hakekat ilahiNya dengan Allah sendiri dan tidak dapat dipisahkan dari Allah, Karena itu merupakan proyeksi dari pada Allah sendiri dan beradanyapun di dalam Diri dan Dzat-Hakekat Allah yang Esa itu. Hal ini dikatakan Injil Yohanes demikian :
“ En arkhee (Pada Mulanya) heen Ho Logos (adalah Firman), kai Ho Logos (dan Firman itu) heen pros ton Theon (menuju kepada Allah, bersama-ssama dengan Allah) kai Theo sheen Ho Logos. (dan Allah-lah Firman itu)” ( Yohanes 1:1 )
Menurut ayat ini Firman itu “bersama-sama” dengan Allah (“pros ton Theon”), yaitu melekat satu di dalam dzat hakekatNya yang Esa. Namun “pros ton Theon” itu juga berarti “menuju kepada Allah” yaitu Firman ini berhadap-hadapan dengan Allah atau berorientasi kepada Allah, meskipun Firman itu berada di dalam satu Allah, atau “bersama-sama dengan Allah”. Ini berarti Allah memandang FirmanNya yaitu memandang Wahyu DiriNya sendiri, memandang CitraNya, memandang AnakNya yang berada dalam diriNya sendiri. Demikian pula sebaliknya Firman itu memandang kembali kepada Allah (Bapa) yang merupakan asal-usulNya. Allah itu dari kekal disebut “Allah” (“Hos Theos”) berarti dari kekal Dia selalu memandang Diri dalam “tajjali”Nya melalui Firman, padahal Firman itu “pros ton Theon” (“menuju kepada Allah”), maka dalam kedalaman dzat-hakekat Allah yang satu dan kekal itu terdapat keberadaan saling pandang memandang. Allah memandang wahyuNya sendiri dan wahyu itu juga memandang Allah kembali, dan itu terjadinya di dalam dzat hakekat Allah yang hanya satu itu sendiri, bukan di luarnya. Inilah kebenaran yang terkandung dalam kata “pros ton Theon” itu. Sebab Alkitab mencatat doa dari “Firman Allah” ketika telah menjadi manusia Yesus Kristus, demikian :
Ayat ini menjelaskan bahwa “sebelum dunia ada”, jadi sebelum Yesus Kristus menjelma menjadi manusia , Ia telah berada “dihadirat” Allah, atau berada dalam lingkup sekitar Allah (“para soi’). Di lingkup sekitar Allah sebelum adanya dunia ini “Firman Allah” sebelum menjelma menjadi manusia itu memiliki kemuliaan, dan kemuliaan itu pastilah identik dengan kemuliaan Bapa sendiri. Disinilah kita melihat hubungan timbal balik yang kekal antara “Allah” dan “FirmanNya” secara kekal, dimana dengan berada di hadirat Allah menunjuk Sang Putra (“Firman Allah”) ini selalu berhadapan dengan Sang Bapa (“Allah Yang Esa”) dan pastilah sebaliknya Sang Bapa (“Allah Yang Esa”) itu berhadapan dengan Sang Putra (“Firman Allah”) sendiri. Sebagaimana dikatakan :
“ En arkhee (Pada Mulanya) heen Ho Logos (adalah Firman), kai Ho Logos (dan Firman itu) heen pros ton Theon (menuju kepada Allah, bersama-ssama dengan Allah) kai Theo sheen Ho Logos. (dan Allah-lah Firman itu)” ( Yohanes 1:1 )
Menurut ayat ini Firman itu “bersama-sama” dengan Allah (“pros ton Theon”), yaitu melekat satu di dalam dzat hakekatNya yang Esa. Namun “pros ton Theon” itu juga berarti “menuju kepada Allah” yaitu Firman ini berhadap-hadapan dengan Allah atau berorientasi kepada Allah, meskipun Firman itu berada di dalam satu Allah, atau “bersama-sama dengan Allah”. Ini berarti Allah memandang FirmanNya yaitu memandang Wahyu DiriNya sendiri, memandang CitraNya, memandang AnakNya yang berada dalam diriNya sendiri. Demikian pula sebaliknya Firman itu memandang kembali kepada Allah (Bapa) yang merupakan asal-usulNya. Allah itu dari kekal disebut “Allah” (“Hos Theos”) berarti dari kekal Dia selalu memandang Diri dalam “tajjali”Nya melalui Firman, padahal Firman itu “pros ton Theon” (“menuju kepada Allah”), maka dalam kedalaman dzat-hakekat Allah yang satu dan kekal itu terdapat keberadaan saling pandang memandang. Allah memandang wahyuNya sendiri dan wahyu itu juga memandang Allah kembali, dan itu terjadinya di dalam dzat hakekat Allah yang hanya satu itu sendiri, bukan di luarnya. Inilah kebenaran yang terkandung dalam kata “pros ton Theon” itu. Sebab Alkitab mencatat doa dari “Firman Allah” ketika telah menjadi manusia Yesus Kristus, demikian :
“Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakan Aku padaMu sendiri dengan kemuliaan yang Kumiliki dihadiratMu (“para soi”) sebelum dunia ada.” (Yohanes 17:5).
Ayat ini menjelaskan bahwa “sebelum dunia ada”, jadi sebelum Yesus Kristus menjelma menjadi manusia , Ia telah berada “dihadirat” Allah, atau berada dalam lingkup sekitar Allah (“para soi’). Di lingkup sekitar Allah sebelum adanya dunia ini “Firman Allah” sebelum menjelma menjadi manusia itu memiliki kemuliaan, dan kemuliaan itu pastilah identik dengan kemuliaan Bapa sendiri. Disinilah kita melihat hubungan timbal balik yang kekal antara “Allah” dan “FirmanNya” secara kekal, dimana dengan berada di hadirat Allah menunjuk Sang Putra (“Firman Allah”) ini selalu berhadapan dengan Sang Bapa (“Allah Yang Esa”) dan pastilah sebaliknya Sang Bapa (“Allah Yang Esa”) itu berhadapan dengan Sang Putra (“Firman Allah”) sendiri. Sebagaimana dikatakan :
“…tidak seorang pun mengenal Anak (Firman) kecuali Bapa (Allah Yang Esa) selain Anak (Firman), dan orang yang kepadanya Anak (Firman) itu berkenan menyatakannya (dalam pewahyuan kepada manusia setelah adanya dunia ini)” (Matius 11:278).
Ayat ini menjelaskan bahwa terdapat saling-kenal yang eksklusif dalam relasi Bapa dan Anak itu, yang tidak dimiliki sesuatu yang berada diluar relasi dari Bapa (Allah yang Esa) dan Anak (FirmanNya) itu. Inilah saling pandang memandang yang kekal itu, karena di situ terdapat saling kenal kekal yang eksklusif. Karena Firman Allah itu mengatakan dirNya “…keluar..dari Bapa…” (Yoh 8:42), berarti Ia berada di dalam diri Bapa itu di kekekalan azali sebelum dunia ada ini. Ini bermakna bahwa “Firman Allah” (Sang Putra) berada dalam diri Allah Yang Esa (Sang Bapa”) itu sendiri. Jadi pandang memandang kekal antara Allah dan FirmanNya itu berlangsung di dalam dzat hakekat Allah yang satu. Karena Firman Allah adalah “pantulan”, “refleksi” dan “gambar” dari Diri Allah sendiri, maka keberadaan Allah ini jelas tergambar dan terkandung dalam FirmanNya, padahal Firman itu berada di dalam Allah sendiri.
Dengan demikian jelas bahwa “Firman berada di dalam Allah, namun Allah juga berada di dalam “Firman” itu. Sebagaimana dikatakan sendiri oleh Firman Allah itu setelah penjelmaanNya sebagai manusia :”…Aku didalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh 14:10). Allah memang tak dapat dipisahkan dari FirmanNya atau Bapa memang tak dapat dipisahkan dari Putra, karena sebagai “Ho Theos” yang berarti “Dia yang memandang” sejak kekal azali ; maka haruslah secara kekal dalam Allah terdapat obyek pandangNya mengenai DiriNya sendiri, selalu ada GambarNya (CitraNya) yaitu AnakNya yang adalah FirmanNya. Ini berarti bahwa jika ada Allah maka Ia selalu ada dengan FirmanNya yang merupakan sifat dzat-Nya yang kekal. Tidak ada Allah tanpa Firman itu, atau tidak ada Bapa tanpa Putra. Dan tidak ada Firman Allah (Anak) tanpa adanya Allah (Bapa) sebagai sumberNya. Berlangsung pewahyuan diri Allah terhadap dirinya sendiri yang berwujud citra Allah yang tak lain adalah Firman Allah ini di katakana dalam Alkitab demikian :
Dalam bahasa asli Yunani kata “Gambar Wujud Allah” adalah “Kharakteer tees Hypostaseoos Autou,” Dengan demikian “Anak Allah” atau “Firman Allah” adalah “Kharakter” yang arti sebenarnya adalah : Stempel/Cap dari Allah. Ibarat gambar dari stempel yang dicapkan pada kertas, itu wujud dan sifatnya adalah tepat dan tidak ada bedanya sama sekali dengan gambar yang ada pada stempelnya itu sendiri. Dengan demikian “Anak Allah” atau “Firman Allah” yang menjadi “Gambar Allah” adalah “GAMBAR TINDASAN” tepat, persis tidak ada bedanya sedikitpun dari wujud Allah (Bapa) sendiri. Itulah sebabnya apa saja yang menjadi milik Allah (Bapa), itu juga tanpa beda sedikitpun adalah milik Firman Allah (Putra) juga karena karena “Firman Allah” (Putra) juga, karena “Firman Allah” adalah “Cahaya Kemuliaan” atau “pancaran kemuliaan” Allah. Firman Allah yang menjadi “gambar wujud Allah” ini disebut “cahaya kemuliaan” karena Allah itu bersifat “Terang” atau “Nur” kemuliaan ( I Yoh 1:5 ), maka demikian juga FirmanNya yang keluar dari Allah itupun disebut “Cahaya Kemuliaan” atau “terang” ( Yoh 8:12 ), sebagaimana yang diteguhkan dalam pengakuan Iman juga, dimana Firman Allah atau Anak Tunggal Allah ini disebut sebagai “…Terang yang keluar dari Terang…”, yaitu yang keluar dari Allah sendiri dan yang tetap melekat di dalam diri Allah, serta yang memiliki realita dan jati diri yang kongkrit yang ciriNya dapat dibedakan dari Bapa. Sehingga memandang terang dari Firman ini maka manusia mengenal Allah yang di gambarkan melalui FirmanNya, sebagaimana Allah mengenal dirNya dalam FirmanNya itu. Bahwa milik Allah adalah juga milik FirmanNya ini dikatakan demikian :
Dalam ayat ini dikatakan oleh Firman Allah yang menjelma itu bahwa “milik Bapa adalah milikNya, milikNya adalah milik Bapa”. Memang konteks pembicaraan dalam ayat-ayat di sini adalah mengenai murid-murid Kristus sebagai milik Allah, namun karena Allah adalah “Pemilik Segala yang Ada” termasuk pemilik dzat-hakekat bdan sifat-sifatNya sendiri, maka berarti segala sesuatu yang ada pada Bapa (Allah yang Esa) baik dzat-hakekat ilahi maupun sifat-sifatNya itu ada secara tak berbeda pada Firman Allah. Dalam makna inilah Pengakuan Iman Nikea mengatakan “Anak Tunggal Allah” (“Firman Allah satu-satuNya”) itu satu Dzat-Hakekat dengan Bapa (Allah Yang Esa).” Hakekat Allah Yang Esa (Bapa) itu sepenuhnya tinggal di dalam Firman Allah (Putra). Kemuliaan Allah yang Esa (Bapa) sepenuhnya berdiam di dalam Firman Allah yang Esa bersama FirmanNya itu hanya ada satu kemuliaan Ilahi saja, ini membuktikan bahwa memang Allah itu Esa. Dzat-Hakekat Allah (Bapa) yang satu itu, berdiam secara sempurna dan sepenuhnya di dalam Firman (Putra) juga, sehingga dalam Allah Yang Esa bersama FirmanNya itu hanya terdapat satu dzat-hakekat ilahi saja, ini makin menegaskan lagi bahwa Allah itu hanya satu sebab yang dalam Allah hanya satu dzat-hakekat saja. Bukan hanya dzat hakekat Allah berada di dalam Firman, namun Firman itu juga berada di dalam diri dan dzat-hakekat Allah Yang Esa itu. Kebenaran akan hal ini dikatakan oleh Alkitab demikian :
Jadi tak ada yang lebih atau yang kurang Allah, serta tak ada yang lebih besar atau yang lebih kecil dari segi ke-Allah-an anatara Allah dan FirmanNya, karena ke-Allah-an itu hanya satu yang berada dalam dzat hakekat Bapa, sedangkan Firman Allah berada di dalam dzat hakekat Bapa yang satu ini, maka Firman pun memiliki dzat hakekat “Allah” yang sama dan satu ini dengan Bapa. Seluruh kepenuhan ke-Allah-an atau seluruh kepenuhan Sang Bapa, Hakekat Sang Bapa secara sempurna diam di dalam Sang Putra. Sehingga dapat dikatakan bahwa Bapa berada “di dalam Putra”, namun karena sebagai Firman Allah, Putra itu melekat satu dalam dzat hakekat Allah yang sama dan satu itu, maka dapat dikatakan bahwa Putra berada “didalam Bapa”, sebagaimana yang dikatakan :”…Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh 14:10). Ke-Allah-an yang ada pada Bapa itulah yang ada dalam Sang Putra. Bahkan ketika Firman Allah (Putra) telah nuzul (“turun menjelma”) menjadi manusiapun, hakekat Sang Bapa (“kepenuhan ke-Allah-an”) itupun tetap diam dalam Sang Putra, yang dengan demikian kesatuan hakekat antara Allah dan FirmanNya yang telah nuzul tak pernah dapat dihapuskan, seperti yang dinyatakan demikian :
Jadi ke-Allah-an dari Bapa yang satu itu berdiam secara penuh di dalam Putra. Maka jelas tidak ada dua “Ilah” karena ada satu ke-Allah-an yang berdiam baik dalam Bapa (Allah Yang Esa) maupun dalam Putra (FirmanNya yang berada di dalam Diri Allah’). Karena hanya ada satu “kepenuhan ke-Allah-an baik dalam Allah yang Esa maupun dalam FirmanNya, berarti hanya ada satu kemuliaan Ilahi, yang berdiam juga di dalam Bapa (Allah Yang Esa) maupun Putra (Firman Allah yang berada di dalam diri Allah). Secara otomatis hanya ada satu kekekalan, karena Firman Allah (Sang Putra) itu sejak kekal azali sampai kekal abadi berada di dalam serta diwahyukan kepada atau diperanakkan dalam dzat-hakekatNya yang Esa itu.
Karena Bapa (Allah Yang Esa) berada di dalam “FirmanNya” (“Putra”), maka hanya satu kehendak ilahi yang menjadi kehendak Sang Putra. Sebagai mana yang dikatakan oleh “Firman Allah” itu sendiri ketika menjelma menjadi manusia : “…Aku tidak menuruti kehendakKu sendiri (yaitu kehendak kemanusiaan setelah menjelma di bumi ini), melainkan kehendak Dia (Allah Yang Esa) yang mengutus Aku (untuk menjelma menjadi manusia di bumi ini)” (Yoh 5:30).
“Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan Gambar Wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan FirmanNya yang penuh kekuasaan.” (Ibr 1:3).
Dalam bahasa asli Yunani kata “Gambar Wujud Allah” adalah “Kharakteer tees Hypostaseoos Autou,” Dengan demikian “Anak Allah” atau “Firman Allah” adalah “Kharakter” yang arti sebenarnya adalah : Stempel/Cap dari Allah. Ibarat gambar dari stempel yang dicapkan pada kertas, itu wujud dan sifatnya adalah tepat dan tidak ada bedanya sama sekali dengan gambar yang ada pada stempelnya itu sendiri. Dengan demikian “Anak Allah” atau “Firman Allah” yang menjadi “Gambar Allah” adalah “GAMBAR TINDASAN” tepat, persis tidak ada bedanya sedikitpun dari wujud Allah (Bapa) sendiri. Itulah sebabnya apa saja yang menjadi milik Allah (Bapa), itu juga tanpa beda sedikitpun adalah milik Firman Allah (Putra) juga karena karena “Firman Allah” (Putra) juga, karena “Firman Allah” adalah “Cahaya Kemuliaan” atau “pancaran kemuliaan” Allah. Firman Allah yang menjadi “gambar wujud Allah” ini disebut “cahaya kemuliaan” karena Allah itu bersifat “Terang” atau “Nur” kemuliaan ( I Yoh 1:5 ), maka demikian juga FirmanNya yang keluar dari Allah itupun disebut “Cahaya Kemuliaan” atau “terang” ( Yoh 8:12 ), sebagaimana yang diteguhkan dalam pengakuan Iman juga, dimana Firman Allah atau Anak Tunggal Allah ini disebut sebagai “…Terang yang keluar dari Terang…”, yaitu yang keluar dari Allah sendiri dan yang tetap melekat di dalam diri Allah, serta yang memiliki realita dan jati diri yang kongkrit yang ciriNya dapat dibedakan dari Bapa. Sehingga memandang terang dari Firman ini maka manusia mengenal Allah yang di gambarkan melalui FirmanNya, sebagaimana Allah mengenal dirNya dalam FirmanNya itu. Bahwa milik Allah adalah juga milik FirmanNya ini dikatakan demikian :
“Dan segala milikKu adalah milikMu dan milikKu adalah milikMu, dan aku telah dipermuliakan di dalam mereka.” (Yoh 17:10).
Dalam ayat ini dikatakan oleh Firman Allah yang menjelma itu bahwa “milik Bapa adalah milikNya, milikNya adalah milik Bapa”. Memang konteks pembicaraan dalam ayat-ayat di sini adalah mengenai murid-murid Kristus sebagai milik Allah, namun karena Allah adalah “Pemilik Segala yang Ada” termasuk pemilik dzat-hakekat bdan sifat-sifatNya sendiri, maka berarti segala sesuatu yang ada pada Bapa (Allah yang Esa) baik dzat-hakekat ilahi maupun sifat-sifatNya itu ada secara tak berbeda pada Firman Allah. Dalam makna inilah Pengakuan Iman Nikea mengatakan “Anak Tunggal Allah” (“Firman Allah satu-satuNya”) itu satu Dzat-Hakekat dengan Bapa (Allah Yang Esa).” Hakekat Allah Yang Esa (Bapa) itu sepenuhnya tinggal di dalam Firman Allah (Putra). Kemuliaan Allah yang Esa (Bapa) sepenuhnya berdiam di dalam Firman Allah yang Esa bersama FirmanNya itu hanya ada satu kemuliaan Ilahi saja, ini membuktikan bahwa memang Allah itu Esa. Dzat-Hakekat Allah (Bapa) yang satu itu, berdiam secara sempurna dan sepenuhnya di dalam Firman (Putra) juga, sehingga dalam Allah Yang Esa bersama FirmanNya itu hanya terdapat satu dzat-hakekat ilahi saja, ini makin menegaskan lagi bahwa Allah itu hanya satu sebab yang dalam Allah hanya satu dzat-hakekat saja. Bukan hanya dzat hakekat Allah berada di dalam Firman, namun Firman itu juga berada di dalam diri dan dzat-hakekat Allah Yang Esa itu. Kebenaran akan hal ini dikatakan oleh Alkitab demikian :
“Karena seluruh kepenuhan ke-Allah-an (Hakekat/Dzat Allah) berkenan diam didalam Dia (Firman Allah, Anak Allah yang Tunggal)”. (Kol 1:19).
Jadi tak ada yang lebih atau yang kurang Allah, serta tak ada yang lebih besar atau yang lebih kecil dari segi ke-Allah-an anatara Allah dan FirmanNya, karena ke-Allah-an itu hanya satu yang berada dalam dzat hakekat Bapa, sedangkan Firman Allah berada di dalam dzat hakekat Bapa yang satu ini, maka Firman pun memiliki dzat hakekat “Allah” yang sama dan satu ini dengan Bapa. Seluruh kepenuhan ke-Allah-an atau seluruh kepenuhan Sang Bapa, Hakekat Sang Bapa secara sempurna diam di dalam Sang Putra. Sehingga dapat dikatakan bahwa Bapa berada “di dalam Putra”, namun karena sebagai Firman Allah, Putra itu melekat satu dalam dzat hakekat Allah yang sama dan satu itu, maka dapat dikatakan bahwa Putra berada “didalam Bapa”, sebagaimana yang dikatakan :”…Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” (Yoh 14:10). Ke-Allah-an yang ada pada Bapa itulah yang ada dalam Sang Putra. Bahkan ketika Firman Allah (Putra) telah nuzul (“turun menjelma”) menjadi manusiapun, hakekat Sang Bapa (“kepenuhan ke-Allah-an”) itupun tetap diam dalam Sang Putra, yang dengan demikian kesatuan hakekat antara Allah dan FirmanNya yang telah nuzul tak pernah dapat dihapuskan, seperti yang dinyatakan demikian :
“Sebab di dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an.” (Kol 2:9).
Jadi ke-Allah-an dari Bapa yang satu itu berdiam secara penuh di dalam Putra. Maka jelas tidak ada dua “Ilah” karena ada satu ke-Allah-an yang berdiam baik dalam Bapa (Allah Yang Esa) maupun dalam Putra (FirmanNya yang berada di dalam Diri Allah’). Karena hanya ada satu “kepenuhan ke-Allah-an baik dalam Allah yang Esa maupun dalam FirmanNya, berarti hanya ada satu kemuliaan Ilahi, yang berdiam juga di dalam Bapa (Allah Yang Esa) maupun Putra (Firman Allah yang berada di dalam diri Allah). Secara otomatis hanya ada satu kekekalan, karena Firman Allah (Sang Putra) itu sejak kekal azali sampai kekal abadi berada di dalam serta diwahyukan kepada atau diperanakkan dalam dzat-hakekatNya yang Esa itu.
Karena Bapa (Allah Yang Esa) berada di dalam “FirmanNya” (“Putra”), maka hanya satu kehendak ilahi yang menjadi kehendak Sang Putra. Sebagai mana yang dikatakan oleh “Firman Allah” itu sendiri ketika menjelma menjadi manusia : “…Aku tidak menuruti kehendakKu sendiri (yaitu kehendak kemanusiaan setelah menjelma di bumi ini), melainkan kehendak Dia (Allah Yang Esa) yang mengutus Aku (untuk menjelma menjadi manusia di bumi ini)” (Yoh 5:30).
Pernyataan Firman yang menjelma ini diteguhkan oleh pernyataan Allah sendiri : “…firmanku yang keluar dari mulutKu…akan melaksanakan apa yang Kukehendaki…”(Yes 55:11). Jadi kehendak Allah yang satu dan tunggal itu berada dalam, serta dituruti dan dilaksanakan oleh “Firman Allah” sendiri, baik sebelum menjelma menjadi manusia maupun sesudahnya. Karena kehendak Allah itu adalah kehendak yang berkuasa yang dilaksanakan melalui dan oleh FirmanNya, berarti ada satu kuasa Ilahiah, yang berasasl dari Allah, namun berdiam dalam dan dilaksankan oleh FirmanNya (Sang Putra). Hal ini dikatakan Kitab Suci demikian: “…Anak (Firman) tidak dapat mengerjakan sesuatu dari DiriNya sendiri (karena Firman Allah bukanlah ilah lain yang mandiri dan yang terpisah dari Allah yang Esa sehingga memiliki kuasa yang mandiri dan berbeda dari kuasa Allah yang Esa itu)..apa yang dikerjakan Bapa, itu juga dikerjakan Anak (karya kuasa Anak itu adalah kuasa Bapa, karena memang ada satu kuasa ilahi yang dikerjakan oleh Allah di dalam dan melalui FirmanNya)”. (Yoh 5:19). Jika yang ada hanya satu kepenuhan ke-Allah-an, satu kehendak ilahiah, satu kemuliaan ilahiah, satu kuasa ilahia, berarti memang tidak ada dua ilah, yang ada hanya Allah yang Esa. Dimana kepenuhan ke-Allah-an, kehendak ilahi, kemuliaan ilahi, serta kuasa ilahi yang hanya satu dari Allah yang Esa itu, berdiam juga dalam FirmanNya serta dilaksanakan oleh Firman itu, karena Firman itu berada didalam dzat-hakekat Allah yang satu itu. Memanglah Putra (Firman Allah) ini tidak dipisahkan sedikitpun dari Bapa (Allah Yang Esa), karena Allah tak perna ada tanpa FirmanNya yang berada serta melekat satu dalam dzat hakekatNya Yang Serba Esa itu. Semua sifat-sifat yang ada pada Allah itu juga berada dalam FirmanNya, karena hanya ada sifat-sifat yang bersifat tunggal di dalam Allah. Karena yang dimaksud dengan Anak atau Putra di dalam Allah itu adalah Firman Allah sendiri, berarti sebenarnya di dalam diri Allah itu tidak ada Bapa, tidak ada Putra, dalam arti jasmani dan biologis. Gelar-gelar ini adalah kata-kata kias yang diberikan kepada Allah supaya manusia mengerti hubungan antara Allah dengan WahyuNya (Gambar atau CitraNya) sendiri, yaitu Firman Allah/Kalimatullah yang berada satu di dalam diri Allah itu.
Makin jelas bagi kita bahwa “pewahyuan Diri Allah” inilah yang disebut kelahiran atau diperanakkanNya : Anak Tunggal Allah (“Firman Allah yang hanya satu-satuNya”) dari Allah itu. Karena Allah mengeluarkan GambarNya dari dalam DiriNya sendiri, jadi dari situlah Ia disebut memperanakkan “Anak TunggalNya” atau “FirmanNya yang Satu” itu. Karena Allah itu tak bertubuh jasmani, Anak Tunggal Allah itupun juga bukan berwujud jasmani, karena Ia adalah Firman dari Allah yang adalah Roh (Ghoib), maka ia bersifat Ghoib atau Roh pula di dalam Diri Allah yang Esa itu. Oleh karena itu, Wujud Allah/Citra Allah yang kekal. Karena Gambar Wujud Allah atau Firman Allah itu bukan hanya sekedar suara yang keluar dari mulut Allah saja, namun betul-betul memiliki “hypostasis” (“realita jati diri yang konkrit”) dengan sifat-sifatNya yang bertindih tepat dan satu serta sama dengan sifat-sifat Bapa (Allah Yang Esa) sendiri, itulah sebabnya Ia disebut Anak untuk menegaskan kekongkritan “hypostasis”Nya ini. Karena bertindih tepatnya dan satunya antara dzat-hakekat Firman Allah dengan dzat hakekat dan sifat-sifat Allah sendiri, maka dapatlah kita mengerti pernyataan Firman Allah ketika menjelma menjadi manusia yang demikian ini : “…Barang siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa…” (Yoh 14:9), karena Ia itu memang Gambar Allah yang azali, sehakekat dengan Allah dan kekal, dan pernyataan yang lain : “…Aku dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku…” (Yoh 14:10), karena Ia itu adalah Firman Allah yang melekat satu dan berada di dalam Diri Allah, dan seluruh kepenuhan ke-Allah-anpun diam di dalam Dia. Dengan demikian jelas bahwa Bapa dan Putra itu sama sekali tidak bisa dipisahkan, karena Allah memang tak terpisah dari FirmanNya, dan Firman Allah itu bukan berada di luar Allah. Makin jelaslah bahwa Allah itu Esa dan tidak ada dua “Ilah” yang saling berbeda dan terpisah serta mandiri dalam penyebutan akan “Bapa” dan “Putra” mengenai Allah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar