Kamis, 25 Juli 2013

Essensi Ilahi ( Hakekat Allah, Dzatullah )

Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.

 Essensi Ilahi ( Hakekat Allah, Dzatullah )

Dari awalnya saat kita mulai membicarakan esensi atau hakekat Allah, hal yang pertama disadari sebagaimana yang dinyatakan oleh Kitab Suci dan Iman Gereja adalah bahwa pada Dzat-HakekatNya Allah itu tak dapat difahami akal dan di luar pemahaman manusia. Manusia tidak mungkin akan tahu akan dzat-hakekat Allah itu dalam keadaan yang sebenarnya. Dzat-Hakekat (“Kejaten”,Jw, “Ousia” bah. Yunani, “Essensi”) Allah ini tak akan perna dapat diketahui oleh siapapun. 
Sehingga dalam berbicara mengenai “dzatullah” atau “esensi Allah” adalah perlu kita mengerti kata “Dzat” yang digunakan dalam pembahasan theologia. “Dzat” adalah suatu kata yang digunakan dalam pembahasan ilmu ketuhanan yang artinya hakekat/kodrat atau essensi. Ini harus dibedakan dengan “Zat” dari ilmu fisika. Sebab zat dalam ilmu fisika yang dimaksud adalah : padat, cair dan gas. Sedangkan yang kita maksud dengan “Dzat” bagi Allah ( Dzatullah ) adalah realita dan keberadaan yang ada dalam diri Allah yang terdalam yang menunjukkan DiriNya itu adalah Allah, dan yang berbeda dari yang bukan Allah. Ini adalah berbicara tentang hakekat atau essensi dalam Diri Allah itu sendiri. Kata ini di jumpai dalam Yohanes 5:26 dalam terjemahan bahasa Arab sebagai berikut : “Liannahu kama’anna ul-aaba lahu khayaatu fiv dzaztihi kadzaalika’ athay ul-ibna’aydhon ‘ an takuwna lahu khayaatu fi dzaatihi” (“Karena sebagaimana Sang Bapa memiliki hidup didalam “Dzat”Nya sendiri/diriNya sendiri, demikianlah juga diberikan Sang Putera mempunyai hidup dalam “Dzat”Nya sendiri/diriNya sendiri”).
Dengan demikian yang dimaksud “dzat” disini adalah “hakekat diri” atau “essensi” keberadaan dari yang memiliki Pribadi itu, dalam hal ini adalah Allah. Allah memang bukan hanya sekedar “dzat” namun terlebih lagi Ia adalah Pribadi, dan dalam Pribadi Allah ini terdapat “dzat” atau “essensi Allah” itu, dan dalam “dzaat” inilah bersemayamNya Pribadi Allah. Jadi memang “Dzaat” Allah dan “Pribadi” Allah sama sekali tak dapat dipisahkan.
Agar kita dapat mengerti lebih baik mengenai masalah ini, maka baiklah kita bahas hal itu demikian. Membicarakan tentang Essensi atau Dzatullah itu adalah mempertanyakan mengenai apakah “ Allah itu ?” padahal mempertanyakan mengenai “Apa” dalam keberadaan Allah itu berarti kita mempertanyakan hakekat atau “Dzat Allah” dan bukan mempertanyakan tentang PribadiNya. Jika kita mempertanyakan tentang “Pribadi Allah” maka kata “Siapa”, itulah yang kita gunakan. Dan mengenai pertanyaan tentang Pribadi Allah ini akan kita bahas pada saatnya. Disamping mempertanyakan “apa” (“dzaatullah”) dan “siapa” (“Pribadi Allah”), dalam pembahasan kita tentang Sang Pencipta itu, kita juga akan mempertanyakan tentang “Bagaimana” tentang Allah itu, artinya kita membahas tentang cara kerja Allah, kehadiran Allah di dalam dunia, dan hubungannya dengan alam ciptaan. Mengenai pertanyaan “bagaimana” tentang Allah ini, kita akan membahas tentang yang Allah hadir di dalam sinar kemuliaanNya dimana tersembunyi kekuatan atau daya kuasaNya. Disitulah kita akan berbicara tentang daya kuasa (energi ilahi) yang dapat menampakkan diri sebagai sinar kemuliaan yang keluar dari essensi Allah sendiri.
Membahas masalah-masalah Dzatullah adalah membahas masalah keghaiban Allah yang paling dalam dan tak terjangkau oleh akal. Karena akal ini diciptakan oleh Allah, sehingga akal tak dapat menembus misteri terdasyat dari Diri Allah tersebut. Ini bukan karena Dzatullah itu “tak masuk akal”, namun karena Dzatullah itu sendiri memang Adi-Akali, melampaui akal dan indra manusia. Sebab Essensi Ilahi atau Dzatullah itu adalah keberadaan terdalam dari Allah itu sendiri yang hanya dapat dimengerti oleh Allah sendiri saja, melalui RohNya sendiri sebagaimana yang dikatakan ; “…tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat didalam diri Allah, selain Roh Allah” ( I Kor 2:11).

Perbedaan antara Dzaat” (”Hakekat”, “Kejaten”,”Essensi”,”Ousia”) Allah dan “Pribadi” Allah ini mungkin bagi sebagian orang masih sulit untuk membedakan, untuk itu marilah kita jelaskan sebagai berikut. Demi memudahkan penjelasan ini sebaiknya kita ambil contoh sebagai berikut : Penulis buku ini, sebagai seorang manusia, mempunyai essensi kemanusiaan yang sama dengan para pembaca buku ini. Sifat kemanusiaan yang dimiliki pembaca buku ini. Sifat kemanusiaan yang dimiliki pembaca, itu juga dimiliki oleh sang penulis ini. Jadi segenap manusia hanya mempunyai essensi yang satu saja. Hakekat kemanusiaan yang satu dan dimiliki oleh setiap orang itu jelas berbeda dari hakekat atau dzat atau essensi dari pada lembu. Karena lembu memiliki hakekat “kelembuan” yang dimiliki secara bersama oleh segenap lembu di seluruh alam ini. Dan hakekat kelembuhan itu jelas berbeda dari hekakat kemanusiaan. Demikianlah hakekat kemanusiaan yang hanya satu itu hanya dimiliki oleh manusia siapapun diatas bumi ini. Tak perduli warna kulitnya baik itu berkulit hitam, berkulit kuning, berkulit coklat maupun berkulit merah; sebagai manusia dia mempunyai cirri-ciri kemanusiaan yang sama, yang menunjukan dia itu manusia dan ciri tersebut yang menyebabkan dia disebut manusia. Jadi manusia yang satu dan manusia yang lain tidak berbeda di dalam essensi kemanusiaannya, yang membedakan satu orang dengan lainnya adalah Pribadi. Pribadi Si Tono bukanlah pribadi Si Toni, masing-masing orang mempunyai “pribadi unik dan khas” yang membedakannya dengan pribadi yang lain. Pemahaman yang sama berlaku ketika berbicara mengenai dzat/hakekat/essensi/kejaten di dalam Allah yang hanya satu dan tidak dapat di mengerti makhlukNya itu. Hakekat Allah itu ialah essensi yang ada dalam Allah, yang menyebabkan Allah itu adalah Allah, bukan manusia dan bukan termasuk ciptaan apapun. Hakekat Allah itu tidak dapat dimengerti, tidak dapat dilihat oleh mata manusia, tak dapat direka-reka. Keadaan hakekat Allah yang demikian inilah yang dalam bahasa Jawa dikatakan sebagai “Tan Keno Kinoyo Ngopo” (“Tak Dapat Dikatakan Bagaimana”, “Bi La Kayf”.)

Bahwa hakekat (“kejaten”, “dzat/jawhar”, “essensi” atau “ousia”) Allah itu tidak dapat diumpamakan dengan segala sesuatu apapun, jelas dinyatakan oleh II Sam 7:22 demikian :

Sebab itu Engkau besar, ya Tuhan ALLAH, sebab tidak ada yang sama seperti Engkau dan tidak ada Allah selain Engkau menurut segala yang kami tangkap dengan telinga kami.” (II Sam 7:22)

Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang sama seperti Engkau ini bermakna tak ada satupun yang dapat kita samakan dengan Allah. Segala rekaan atau khayalan ataupun gam,baran kita tentang Allah itu jelas tidak dapat menangkap atau menggambarkan Allah itu dengan sebenarnya, dengan demikian manusia memang tidak dapat mengetahui apa-apa tentang Allah itu. Hal ini juga diterangkan didalam ayat lain yang berbunyi demikian :

Tidak ada yang mengetahui Anak kecuali Bapa demikian juga tidak ada yang mengetahui Bapa kecuali anak” ( Mat 11:27).

…dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia, tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu” ( Yoh 14:17 ).

Jelas bahwa Allah yang Esa itu sama sekali tidak dimengerti oleh manusia didalam hakekatNya. Oleh karena itu dalam bagian Alkitab yang lain dikatakan demikian :

Dialah satu-satunya yang tidak dapat takluk pada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorangpun tak perna melihat Dia dan memang manusia tak dapat melihat Dia” ( I Tim 6:16 ).

Maksud dari kata-kata memang manusia tidak dapat melihat Dia disini bukan hanya Allah itu tidak dapat dilihat oleh mata jasmani saja, namun juga bahwa Allah itu tak dapat dilihat oleh mata akal kepandaian manusia juga. Selanjutnya Allah yang Maha Esa itu dinyatakan sebagai yang bersemayam dalam terang tak terhampiri. Ini menunjukkan bahwa jika tempat bersemayamNya Allah itu saja tidak dapat dihampiri, maka terlebih lagilah “Dia yang bersemayam didalam Terang itu pastilah sama sekali tidak dapat dihampiri. Demikianlah memang Allah itu Maha Ghaib, dan Misteri Maha Agung. Jarak “hakekat” antara manusia dan Allah itu tak akan pernah terseberangi karena tanpa ada batas, sehingga pengertian kita tak dapat mencapai Dia. Karena Allah itu bukan hanya Maha Tinggi, namun Dia berada di luar ketinggian. Dan jika kita katakana Allah memiliki “dzaat”. Pendek kata Ia secara mutlak tak dapat dibandingkan dengan apapun. Dengan demikian kita tidak mampu, meskipun sedikit saja, menurut akal kepandaian kita, untuk mengerti hakekat atau essensi Allah itu. Oleh karena itu Allah bersabda kepada Nabi Musa demikian :

Engkau tidak tahan memandang wajahku (DzatKu, EssensiKu), sebab tidak ada orang yang memandangKu dapat hidup” (Kel 33:20).

Karena mustahilnya manusia dapat mengerti hakekat Allah ini maka Kitab Suci mengatakan tidak ada seorangpun yang perna (atau dapat) mengerti/melihat Allah :

Tidak seorangpun yang perna melihat Allah;… …” (Yoh 1:18)

Ini disebabkan meskipun Allah itu bersemayam dalam Terang, namun terang itu tak terhampiri, dan meskipun Allah itu bersifat terang dan didalamNya tidak ada kegelapan (I Yoh 1:15), namun karena begitu jauhnya dan dalamnya rahasia Hakekat/Essensi Allah itu, sehingga yang dapat dilihat oleh manusia itu hanyalah merupakan jurang dalam yang gelap gulita. Seperti yang dialami oleh Nabi Mussa ketika bertemu dengan Allah diatas gunung Sinai, sebagaimana yang tertulis :

Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati embun yang kelam di mana Allah itu ada” (Kel 20:21)

Embun kelam yang menjadi tempat Allah berada ini adalah symbol bagaimana Allah itu begitu gelap dan tertutup oleh misteri keagungan dan kemuliaanNya sendiri, bagi manusia berdosa yang ingin mendekati Allah itu. Demikianlah kitapun tidak usah heran, jika pemazmur juga memazmurkan Allah itu demikian :

Ia menekukkan langit, lalu turun, kekelaman ada dibawah kakiNya… … Ia membuat kegelapan disekelilingNya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondokNya: air hujan yang gelap, awan yang tebal…” (Maz 18:10-12).

“Tuhan adalah Raja… Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia….” (Maz 97:1-2).

Dengan gelap gulitanya dzat hakekat Allah itu bagi akal budi manusia, maka hanya satu saja yang dapat kita mengerti tentang Allah itu, yakin bahwa sebenarnya manusia tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa mengenai keadaan dzat, hakekat, kejaten dari Allah itu. Hakekat Allah yang menjadi kerajaan Allah itu sendiri, hanya bissa dimengerti oleh Allah yang Esa itu sendiri beserta FirmanNya yang kekal dan RohNya yang kekal yang berada melekat dalam diriNya Yang Esa itu. Di dalam dzat hakekat Allah yang satu, serta yang tidak dapat dimengerti oleh manusia itulah Allah yang Esa berada dalam keheningan total, kasih obsolut,kesucian mutlak , terang penuh gemilang, kebahagiaan sepenuh, kemurnian tanpa cacat, keutuhan sempurna, dari kekal azali sampai kekal abadi. Karena Allah itu adalah Dia yang tidak dapat dimengerti, sudah selayaknya jika manusia menerima kenyataan bahwa Allah itu tidak dapat direka atau digambarkan dengan cara apapun karena Ia tidak dapat dicapai oleh pikiran, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab dibawah ini :

O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah ! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya !” (Rom 11:33).

Engkau tidak tahan memandang wajahKu (dzatKu, EssensiKu), sebab tidak ada orang yang memandangKu dapat hidup” (Kel 33:20).

“Ia membuat kegelapan di sekelilingNya menjadi persembunyanNya, ya, menjadi pondokNya : Air hujan yang gelap, awan yang tebal” (Maz 18:10-12).

Sesuai dengan data data Alkitab yang sudah kita bahas ini Iman Kristen Orthodox mengajarkan bahwa Hakekat (Essensi, Dzat) Allah itu sebagaimana yang sudah berulang kali kita katakan tidak dapat dimengerti ataupun dilihat oleh manusia. Artinya bukan hanya tak dapat dilihat secara mata jasmani saja, namun juga mata akal, mata batin atau mata hati. Kenyataan Adi Kodrati yang demikian ini ditandaskan lebih jauh oleh Alkitab sebagai berikut :

Hormat dan kemuliaan samapai selama-lamanya bagi Raja segalah zaman, Allah yang kekal, yang tak Nampak, yang Esa.” (I Tim 1:17).

Allah yang Esa sebagai Raja kekal atas segala zaman Yang Maha Ghaib itu, juga tak dapat dimengerti oleh para Malaikat disorga dalam essensi/hakekat/dzatNya yang sebenarnya. Allah memang tidak mempunyai kegelapan didalam diri-Nya, sebab Ia adalah Nur ( Terang, I Yoh 1:15 ), namun karena mustahil dapat dihampiri oleh makluk, baik manusia maupun Malaikat, maka Allah yang Terang itu menjadi gelap gulita bagi maklukNya. Bagi makluk, manusia maupun malikat, Nur Ilahi itu menjadi terang yang membutakan serta menjadi aterang yang Gulita. Suatu paduan kata yang aneh memang, tetapi demikianlah keadaan Allah. Hal itu nyata dari peristiwa yang terjadi di Gunung Sinai. Pada waktu Musa mendekati Allah, Allah menampakkan Diri di dalam terang serta dalam cahaya yang berkilau-kilauan (Kel 19:18,24:10), namun pada waktu Musa naik untuk menghadap hadirta Allah justru kegelapanlah yang dimasukinya; sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat berikut ini :

Lalu Musa membawa bangsa itu keluar dari perkemahan untuk menjumpai Allah dan berdirilah mereka pada kaki gunung. Gunung Sinai ditutupi selurunya dengan asap, karena Tuhan turun keatasnya dengan api; asapnya membumbung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung itu gemetar dengan sangat. Bunyi sangkakala kian lama kian keras. Berbicaralah Musa, lalu Allah menjawabnya dalam guruh. Lalu turunlah Tuhan keatas puncak gunung itu, dan naiklah Musa ke atasnya.” (Kel 19:17-20).

Masuklah Musa ke tengah-tengah awan itu dengan mendaki gunung itu. Lalu tinggallah ia diatas gunung itu empat puluh hari empat puluh malam lamanya.” (Kel 24:18).

Ia menekukkan langit lalu turun, kekelaman ada dibawah kakiNya. Ia mengendarai kerub, lalu terbang dan melayang diatas sayap angin. Ia membuat kegelapan di sekelilingnya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondik-Nya: air hujan yang gelap, awan yang tebal.” (Maz 18:10-12)

Menurut ayat-ayat diatas Allah yang terang itu bersembunyi dalam kegelapan yaitu misteri diriNya sendiri yang tak dapat ditembus oleh makluk, yang digambarkan sebagai awan gelap, kekelaman, kegelapan,. Hal inilah yang dimaksud dengan ayat dibawah ini :

…tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam Diri Allah…” ( I Kor 2:11 )

Karena dzat-hakekat Allah itu memang begitu ghaib dan dasyatnya. Sehingga “wajah” yaitu essensi/hakekat/dzat Allah ini dapat membuat makluk hancur lebur jika mungkin melihatnya, yang memang pasti tidak mungkin sebagaimana yang dikatakan :

Engkau tidak tahan memandang wajahKu (hakekatKu, EssensiKu, dzatKu), sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup…” (Kel 33:20).

Allah itu merupakan suatu “misteri”, satu rahasia yang tidak dapat terpecahkan oleh akal manusia. Sehingga dengan demikian dalam keputusan-keputusan kehendakNya dan jalan kodratNya ini memang Allah tak terselidiki dan tak terselami :

O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah ! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya !” (Rom 11:33).

Allah sendiri sajalah yang mengerti dengan sebenarnya mengenai DzatNya (EssensiNya, HakikatNya) yang Maha Ghaib, Maha Tak Terselidiki dan Maha Tak Terselami itu. dzatNya (EssensiNya/HakekataNya) adalah rahasia diatas segalah rahasia, dan Misteri diatas misteri. Itulah sebab hanya dengan rasa takut dan gentar disertai hormat dan kasih yang amat mendalam kita harus mendekati Allah yang demikian ini.

Allah yang tanpa kegelapan itu, menjadi suatu rahasia dan misteri yang gelap pekat dalam dzat hakekatNya karena tidak dapat dihampiri manusia, serta tak dapat dicapai oleh manusia dalam keadaan alamiah dan keberdosaannya itu.