Musyrik adalah keyakinan serta sikap hati dan ibadah yang membuat sekutu dan tandingan bagi Allah, sehingga dengan demikian keesaan Allah dalam keilahihanNya (Tauhid Ilahiah), dalam kepenguasaanNya (Tauhid Rububiyah), dan dalam Ibadah kepadaNya (Tauhid Ubudiyah) mengalami pengrusakan dan pengrongrongan. Sikap musyrik ini sangat membahayakan bagi keselamatan manusia sehingga diancam :
“Apabila kamu.. beribadah kepada ilah asing, maka Ia akan berbalik dari padamu…..serta membinasakan kamu.” (Yos 24:20).
Juga tertulis :
“Perbuatan daging telah nyata, yaitu… penyembahan berhala…barang siapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat begian dalam kerajaan Allah.” ( Gal 5:19-20).
Karena demikian beratnya ancaman yang diberikan bagi para musyrikin (orang-orang yang melakukan tindakan musyrik), adalah sangat penting bagi kita mengerti apa-apa yang dapat dikatakan sebagai musyrik itu, dan dengan mengetahuinya kita dapat menjauhkan diri daripadanya serta memurnikan diri kita dari kemusyrikan untuk menegakkan serta memurnikan tauhid itu dalam hidup kita.
Bentuk-bentuk kemusyrikan :
A. Penyembahan Benda Wadhag
Terutama yang berbentuk ukir-ukiran. Inilah bentuk berhala yang paling umum dan paling kuno dalam ibadah agama kafir : “Akulah Tuhan Allahmu,…jangan ada padamu ilah lain di hadapanKu. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit…di bumi…atau …di dalam air. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Tuhan, Allahmu…” ( Kel 20:2-5).
Perjanjian Baru mengajarkan hal yang sama : “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka yang menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia fana, burung-burung, binatang-binatang, yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar.” (Rom 1:21-23).
Penyembahan kepada berhala jenis patung ukir-ukiran seperti ini dianggap sebagai kebodohan (Jahil), karena dalam Zabur/Mazmur diterangkan : “Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas buatan tangan manusia, mempunyai mulut tetapi tidak berkata-kata, mempunyai mata tetapi tidak melihat, mempunyai telinga tetapi tidak dapat mendengar, mempunyai hidung tetapi tidak dapat mencium, mempunyai tangan tetapi tidak dapat meraba, mempunyai kaki tetapi tidak dapat berjalan, dan tidak dapat member suara dengan kerongkongannya. Seperti itulah jadinya orang-orang yang membuatnya, dan semua orang yang percaya kepadanya.” ( Maz 115:4-8).
Karena berhala itu tak lain hanyalah benda mati yang tak mempunyai kemampuan apa-apa maka Zabur melanjutkan lagi : “Semua yang beribadah kepada patung akan mendapat malu, orang yang memegahkan diri karena berhala-berhala : Segalah ilah (jika ada kenyataan nya !!!) sujud menyembah kepada-Nya (Allah Yang Esa)” (Maz 97:7).
Atas dasar kehampaan dan ketiadaan kuasa serta dusta yang nyata dari patung-patung berhala inilah para nabi dengan penuh sarkasme menghardik dan mencelah berhala-berhala dan para penyembahnya itu sebagai berikut :
“Orang-orang yang membentuk patung, semuanya adalah sia-sia, dan barang-barang kesayangan mereka itu tidak member faedah. Penyembah – penyembah patung itu tidak melihat dan tidaklah mengetahui apa-apa, oleh karena itu akan mendapat malu. Siapakah yang membentuk ilah dan menuang patung yang tidak berpaedah ? Sesungguhnya semua pengikutnya akan mendapat malu, dan tukang – tukangnya adalah manusia belaka. Biarlah mereka semua berkumpul dan bangkit berdiri ? Mereka akan gentar dan mendapat malu bersama-sama. Tukang besi membuatnya dalam bara api dan menempanya dengan palu, ia mengerjakan dengan segala tenaga yang ada ditangannya. Bahkan ia menahan lapar sehingga habislah tenaganya, dan ia tidak minum air sehingga ia letih lesu. Tukang kayu merentangkan tali pengukur dan membuat bagan sebua patung dengan kapur merah, ia mengerjakannya dengan pahat dan menggarisinya dengan jangka, lalu ia membentuk seorang laki-lakikepadanya, seperti seorang manusia yang tampan, dan selanjutnya ditempatkannya dalam kuil. Mungkin ia menebang pohon-pohon aras atau ia memilih pohon saru atau pohon tarbantin, lalu membiarkannya tumbuh menjadi pohon besar diantara pohon – pohon dihutan atau ia menanam pohon salam , lalu hujan membuatnya besar, dan kayunya menjadi kayu api bagi manusia, yang memakainya untuk memanaskan diri; lagi pula ia menyalakannya untuk membakar roti. Tetapi ia juga membuatnya menjadi “allah” (ilah), lalu menyembah kepadanya; ia mengerjakan menjadi patung lalu sujud kepadanya. Setenganya dibakarnya dalam api dan diatasnya dipanggangnya daging. Lalu ia memakan daging yang dipanggang itu sampai kenyang; ia memanaskan diri sambil nberkata: “Ha, aku sudah menjadi panas , aku telah merasakan kepanasan api.” Dan sisa kayu itu dikerjakan menjadi “allah” (ilah), menjadi patung sembahannya; ia sujud kepadanya, ia menyembah dan berdoa kepadanya, katanya: “Tolonglah aku, sebab engkaulah allahku.” Orang seperti itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak mengerti apa-apa, sebab matanya melekat tertutup, sehingga tidak dapat melihat dan hatinya tertutup juga, sehingga tidak dapat memahami. Tidak ada yang mempertimbangkannya, tidak ada cukup pengetahuan dan pengertian untuk mengatakan:”Setangahnya sudah kubakar dalam api dan diatas baranya juga sudah kubakar roti, sudah kupanggang daging, lalu kumakan. Masakan sisanya kubuat menjadi dewa kekejian ? Masakan aku menyembah kayu kering ? Orang yang sibuk dengan abu belaka, disesatkan oleh hatinya yang tertipu; ia tidak dapat menyelamatkan jiwanya atau mengatakan: “bukankah dusta yang menjadi pengakuanku ?” (Yes 44:9-20).
Dan masih banyak lagi kecaman yang tajam dan hardikan yang pedas dalam Kitab Suci atas penyembahan patung berhala semacam itu. Namun kutipan-kutipan ayat-ayat diatas sudah cukup menjelaskan kepada kita betapa jijik para Nabi terhadap penyembahan berhala patung ukiran yang dianggap sebagai ilah itu. Dan betapa berat ancaman yang dijatuhkan bagi orang yang menyembah ilah dalam bentuk patung ukiran berhala dewa-dewa itu.
Berkaitan dalam penyembahan berhala yang berwujud patung dan arca dipergunakan segalah macam ilmu tenung, ilmu sihir, ilmu gaib dan ilmu ramal yang dianggap sebagai sarana berkomunikasi dengan dan mengetahui kehendak dari dunia gaib dimana para dewa atau para makhluk roh dianggap lebih tinggi didalam praktek ibadah dan keyakinan agama semacam itu.
Di atas telah kita bahas bahwa patung berhala dan arca pada dirinya sendiri memang hampa dan tidak ada realitanya, namun karena itu penyembahan kepada yang dusta , maka “bapa segala dusta” (Yoh 8:44) yaitu : Iblis dan segalah roh jahatnya. ( I Kor 10:19-20) menggunakan kesempatan itu untuk makin menipu dan menyesatkan manusia. Sehingga melalui kerjasamanya segala macam ilmu sihir, ilmu tenung, ilmu gaib, ilmu mistik, dan klenik serta ilmu ramal mereka berusaha untuk menyakinkan manusia para ilah dan para dewa yanga dalah roh-roh jahat itu sendiri memang ada realitanya. Sehingga memalingkan manusia dari penyembahan dan ketergantungan yang utuh kepada Allah yang Esa, serta menjadikan manusia sebagai orang orang yang musyrik. Alkitab mengajarkan :
“Apabila engkau sudah masuk kenegeri yang telah diberikan kepadamu oleh Tuhan, Allahmu, maka Janganlah engkau belajar berlaku sesuai dengan kekejian yang dilakukan oleh bangsa-bangsa itu. Di antaramu janganlah didapat seorangpun yang mempersembahkan anaknya laki-laki dan anaknya perempuan sebagai korban dalam api, ataupun seorang yang menjadi petenung, seorang peramal, seorang penelaah, seorang penyihir, seorang pemantera, ataupun seorang yang bertanya kepada arwah atau kepada roh peramal atau yang memintah petunjuk kepada orang-orang mati. Sebab setiap orang yang melakukan hal-hal ini adalah kekejian bagi Tuhan mengahalaukan mereka dari hadapanmu.” (Ul 18:9-12).
“Jangan kamu berpaling kepada arwah atau roh-roh peramal…Aku sendiri akan menentang orang itu dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya.” (Im 20:6).
B. Memuja Malaikat.
Malaikat adalah makhluk yang dicipta oleh Allah, sama dengan manusia. Hanya Malaikat berwujud roh yang tidak memiliki jasad yang kasar seperti tubuh manusia, sebagaimana yang dikatan :
“…kepada siapakah diantara para malaikat itu pernah berkata :’ Duduklah di sebelah kananKu…’ bukankah mereka semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani…?” (Ibr 1:13-14).
Meskipun Malaikat itu berwujud roh, mereka tetaplah hamba Allah yang melayani kehendak Allah. Dan sebagai makhuk roh mereka kadang-kadang dikacaukan oleh manusia sebagai yang Ilahi sendiri, apalagi para Malaikat itu disebutkan oleh Kitab Suci demikian :
“…malaikat-malaikat …lebih kuat dan lebih berkuasa dari pada mereka (manusia)…” ( I Pet 2:11 ).
Melihat makhluk roh yang lebih kuat dan lebih berkuasa lebih dari dirinya sendiri, manusia menjadi terpengarah dan terpesona, sehingga oleh dorongan kodrat menusia yang memang ingin menyembah itu terjadi suatu kekeliruan dipihak manusia, sehingga menyampaikan penyembahan itu langsung kepada para Malaikat itu sendiri. Penyembahan pada Malaikat itu bukanlah sesuatu yang tak perna ada, karena Kitab Suci mensinyalir adanya suatu praktek yang demikian, pada zaman awal munculnya Iman Kristen Orthodox, yang oleh ajaran Tauhid dan Injil praktek yang demikian itu telah punah dan musnah, sebagaimana yang dikatakan :
“Jangan kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malikat…” ( Kol 2:18 ).
Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang adanya orang yang beribadah kepada Malaikat dan dengan demikian melakukan puja bakti kepada para Malaikat seolah-olah mereka itu adalah yang Ilahi sendiri. Memang gangguan untuk menyembah makhluk Allah yang bercahaya atau malaikat terang, yang sering Iblis menyamar seperti mereka itu sangat mudah terjadi. Contohnya dalam agama tertentu yang dulunya menyembah para Dewa yang memang dalam perlakuan ibadahnya dianggap sebagai ilah-ilah, namun oleh pengaruh agama Tauhid Kristen Orthodox, dan Islam, para dewa tak lagi dianggap sebagai ilah, namun diakui sebagai malaikat-malaikat. Dan agama-agama itu mulai pula menekankan keesaan Allah, namun toh sisa kemusyrikan itu tak begitu mudah disingkirkan, karena biarpun para dewa itu dianggap sebagai malaikat, tetapi tetap juga disembah sebagai ilah. Jadi memang mudah sekali penyembahan kepada malaikat itu dilakukan manusia. Apalagi jika masyarakat yang melakukan itu belum dijamah oleh ajaran Tauhid dan Injil. Namun tentu saja Malaikat yang mau menerima penyembahan seperti itu bukanlah malaikat yang benar, namun mereka adalah makhluk roh yang lain, yaitu: Iblis, yang dulunya adalah juga seorang malaikat, yang menyamar sebagai malaikat terang itu, sebagaimana yang diajarkan Kitab Suci : “Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal ini tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat terang.” ( II Kor 11:13-14).
Dan adalah memang keinginan Iblis itu untuk disembah manusia, bahkan diapun mencoba-coba kalau Almasih dalam keadaanNya sebagai manusia itupun dapat ditundukkan untuk menyembah kepadanya :
“dan ia (Iblis) berkata kepadaNya (Almasih): “Semua itu akan kuberikan kepadaMu. jika engkau sujud menyembah aku.” Maka berkatalah Yesus kepadanya : “Enyalah Iblis ! Sebab ada tertulis : Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti !” ( Mat 4:9-10).
Berlawanan dengan keinginan malaikat yang telah jatuh : Iblis ini, Malaikat yang sesungguhnya tak mungkin mempunyai keinginan jahat seperti itu. Perna terjadi bahwa karena begitu luar biasanya pengalaman perjumpaan dengan Maliakat yang memberikan wahyu kepadanya, hampir-hampir Yohanes lupa diri, sehingga hampir saja menyembah malaikat, namun justru ditolak oleh malaikat tersebut, dan malaikat itu mengingatkan Yohanes bahwa dia adalah sama-sama hamba Allah seperti manusia. “ Dan aku Yohanes, akulah yang telah mendengar dan melihat semuanya itu. Dan setelah aku mendengar dan melihatnya, aku tersungkur didepan kaki Malaikat, yang telah menunjukkan semuanya itu, untuk menyembahnya . tetapi ia berkata berkata kepadaku ;”Jangan berbuat demikian ! Aku adalah hamba, sama seperti engkau dan saudara-saudaramu, para nabi dan semua mereka yang menuruti segala perkataan Kitab ini. sembahlah Allah ! ” ( Wah 22:8-9).
Sungguh berbeda sikap Iblis dan Malaikat Allah yang benar ini. Iblis menyesatkan dan menjerumuskan manusia kepada musyrik, Malaikat yang benar menuntun dan mengajar manusia kepada Tauhid. Malaikat yang benar tak rela untuk disembah, dan mengakui bahwa dia hanyalah sekedar hambah Allah sama dengan para Nabi dan kaum saleh. Dia tak berhak menerima sembah. Hanya Allah yang wajib disembah. Iblis perlu diingatkan Alamasih akan kebenaran mendasar akan hal ini, namun malaikat yang benar justru mengingatkan manusia akan arah penyembahan yang benar itu: “Jangan berbuat demikian ! Sembahlah Allah!”. Iman Kristen Orthodox melarang pengikutnya menyembah Malaikat, biar bagaimanapun mulianya Malaikat itu, hanya Allah dan Allah saja yang wajib disembah. Untuk itulah jika dalam Gereja Orthodox ada penghormatan kapeada Malikat, janganlah penghormatan itu dikacaukan dengan penyembahan kepada mereka, sama seperti penghormatan kepada orang kuduspun bukan dan tidak boleh dikacaukan dengan penyembahan kepada mereka. Malaikat-malaikat dan orang-orang kudus (roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna) telah berada dalam realita rohani yang sama, dimana bersama-sama mereka menyembah Allah. Oleh Iman kepada Yesus, orang Kristen Orthodox telah menjadi sahabat dengan mereka , sehingga penghromatan kepada mereka ini adalah bukti kebenaran kesatuan antara yang sorga dan yang bumi di dalam Kristus ( Efesus 1:10 ), sehingga dengan penghormatan itu orang Kristen Orthodox selalu diingatkan bahwa dalam mereka menyembah Allah, mereka itu dikelilingi oleh para Malaikat dan para orang kudus, yang bersama dengan mereka semua itu orang Kristen Orthodox serempak menyembah Allah yang satu dan Esa, sebgaimana dikatakan :
“Tetapi kamu sudah datang (perhatikan; bukannya’akandatang’dimasa depan!) ke…Yerusalem Sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang meriah…dan kepada roh-roh orang benar yang telah menjadi sempurna.” (Ibr 12:22-23).
Bersama dengan kumpulan para malaikat serta para roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna (para orang kudus) dalam penyembahan yang meriah kepada Allah yang Esa itulah orang Kristen Orthodox telah datang. Itulah sebabnya menghormati yaitu memperingati mereka, itu bukan tindakan kemusyrikan , karena justru dengan itu kita diingatkan bahwa mereka juga menyembah Allah yang Esa sama seperti kita, bahwa kebenaran tauhid itu bukan hanya ditegaskan dibumi ini saja, namun di sorga juga. Dengan demikian kita tolak segalah bentuk penyembahan kepada Malaikat, karena justru para Malaikat yang bersama Ibadah kita, menegaskan dan mengingatkan kita untuk hanya beribadah kepada Allah yang Esa.
C. Memuja Pemimpin Agama.
Keterpesonaan akan hal-hal yang luar biasa memang mudah membuat mereka untuk jatuh kepada penyembahan terhadap apa yang membuat dia menjadi terpesona itu, jika iman Tauhidnya didalam dada tidak kuat. Termasuk juga Keterpesonaan kepada pemimpin Agama yang mengajarkan sesuatu yang hebat disertai oleh perbuatan yang ajaib dan yang mengherankan hal ini terjadi di kota Samaria, sebelum dijamah oleh ajaran Tauhid dari Injil :
“Seorang yang bernama Simon telah sejak dulu melakukan sihir di kota itu dan mentakjubkan rakyat Samaria, serta berlagak seolah-olah ia seorang yang penting. Semua orang, besar kecil mengikuti dia, dan berkata : “Orang ini adalah kuasa Allah yang terkenal sebagai Kuasa Besar ” ( Kis 8:9-10).
Dalam Sejarah Gereja Simon ini terkenal sebagai “ Simon Magus “ atau Simon Si Tukang Sihir, dan secara tradisionil dianggap sebagai musuh bebuyutan Rasul Petrus. Dialah yang dianggap ole Para Bapa Gereja sebagai penyebab munculnya Ajaran Gnostikisme, yang hendak mencampur adukkan ajaran Tauhid Injil dengan kemusyrikan kafir Yunani. Dalam ayat-ayat diatas terlihat bahwa Simon telah membuat orang-orang Samaria takjub karena sihir yang dilakukannya itu. Sebagai akibatnya dia yang manusia biasa itu rela disebut sebagai “Kuasa Allah” manifestasi dari sifat Allah itu sendiri. Namun bukan hanya manisfestasi dari sifat Allah saja, mala dia sendiri dianggap sebagai Allah. Gelar yang dipakainya untuk mengelabui rakyat Samaria itu adalah gelar Ilahi sendiri “Kuasa Besar”. Dalam bahasa aslinya kata ini berbunyi “Meghalee” yang artinya “Yang Maha Besar” yang gelar ini tak lain adalah Nama dari Sang Pencipta : Allah sendiri. Demikianlah kita jumpai kasus dimana ketakjuban manusia rela mengangkat seorang manusia biasa, yang malahan seorang pengikut Iblis (tukang Sihir) sebagai “Yang Maha Besar” sebagai “Allah”. Bagi kita yang telah diterangi oleh Tauhid Injil mungkin hal itu tidak masuk akal, namun hal yang demikian ini banyak terjadi di sekeliling kita. Di India ada seorang yang juga bisa melakukan perbuatan ajaib, bernama “Sai Baba” yang juga memeliki pengikut di Indonesia, oleh pengikutnya, diapun dianggap sebagai Allah sendiri. Kasus Simon Magus ini akan terulang terus dalam sejarah, selama manusia tak berakar dalam Tauhid, sebagai mana yang di tegaskan oleh Alkitab. Demikianlah dari zaman ke zaman ada manusia-manusia tertentu oleh charisma luar biasa yang ada padanya, menyalah-gunakan pengaruhnya itu untuk menyelewengkan dari penyembahan kepada Allah yang benar kepada penyembahan dirinya sendiri. Pemimpin-pemimpin agama yang disembah secara demikian , tidak selalu dalam wujud pengangkatan sebagai Allah saja. Namun juga jika ada seorang pemimpin agama yang dianggap “mutlak” dan “tanpa salah”, siapapun orangnya, sudah mengarah kepada pengilahian, dan dengan demikian menjadi kemusyrikan . sebab tak seorangpun yang mutlak dan tak seorangpun yang tanpa salah. Hanya Allah saja yang Mutlak dan Allah saja yang tanpa salah. Puncak dari pengilahian diri ini akan terjadi jika “SI Dajjal” (Anti Kristus) datang dan mengaku sebagai Allah dan menghendaki disembah sebagai Allah, sebagai mana dikatakan :
“ Sebab sebelum hari itu (Hari Kiamat) haruslah datang dahulu murtad dan haruslah dinyatakan dahulu manusia durhaka (Dajjal, Antikristus)..yaitu lawan yang meninggikan diri yang diatas disebut dan disembah sebagai Allah. Bahkan ia duduk di bait Allah dan mau menyatakan diri sebagai Allah ” (II Tes 2:3-4).
D. Memuja Harta Benda.
Dalam bentuk kemusyrikan yang telah kita bahas sebelumnya, penekanan diletakkan pada bentuk keyakinan yang salah arah akan hal-hal yang bersifat Adi-Kodrati. Sedangkan apa yang kita bahas sekarang ini adalah tumpuan harapan apa yang salah arah dalam sifat akhlak manusia. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan, selalu mengharapkan untuk memuja sesuatu. Jika bukan Allah yang benar yang disembah, maka makhluk akan menjadi gantinya disembah manusia, sebagai mana dikatakan :
“Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan menyembah mahkluk dengan melupakan Penciptanya, yang harus dipuji selamanya-lamanya, Amin” (Rom 1:25).
Diantara benda ciptaan (makhluk) yang mudah menjadi tumpuhan harap atau pemujaan manusia adalah harta benda. Almasih mengajarkan : “Jangan mengumnpulkan harta dibumi… Karena hartamu berada, disitu juga hatimu berada…Tak seorangpun dapat mengabdi dua tuan…Kamu tak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. (harta benda, kekayaan, uang)” (Mat 6:19,21,24).
“Dan jikalau kamu tidak setia pada harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan hartamu sendiri ? Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan…Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. Semuanya itu didengar oleh orang-orang Farisi, hamba-hamba uang itu….” (Luk 16:12-14).
Dari pengajaran Almasih ini, jelas dinyatakan bahwa mengumpulkan harta sebagai tumpuan harap dan sebagai pujaan adalah merupahkan perbuatan musyrik, karena merupakan penyembahan kepada makhluk, sehingga harta benda itu menjadi tuan atau sesembahan di samping Allah dan manusia menjadi hamba dari harta, atau hamba dari dari uang. Mamon atau harta benda menjadi tandingan Allah dalam hidup manusia yang seperti itu. Manusia yang seharusnya hanya bertuankan Allah dan menjadi abdi hambaNya, sekarang bertuankan Mamon (harta) dan menjadi hamba dari harta dan uang itu. Itulah sebabnya Kitab Suci member peringatan sebagai berikut :
“Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dai Iman…” ( I Tim 6:10 ), itulah sebabnya,
“Peringatkanlah kepada orang-orang kaya didunia ini agar mereka jangan tinggi hati dan jaqngan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan kepada Allah…” (I Tim 6:17).
Harta dapat membuat orang menyimpang dari Iman, dan harta serta kekayaan dapat menjadi tumpuan harap sebagai tandingan Allah, atau bahkan pengganti Allah. Itulah sebabnya tamak akan harta atau keserakaan itu di katogorikan sama dengan penyembahan berhala :
“Karena itu matikanlah dalam dirimu…keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah…” (Kol 3:5-6).
Dan karena terlekat cinta pada harta itu disamakan dengan penyembahan berhala, maka kepada seorang muda yang kaya yang merasa dirinya cukup beragama, namun hatinya terlekat pada hartanya Yesus Kristus mengatakan :
“…..Jikalau kamu hendak sempurna, pergilah, jualah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga…mendengar perkataan itu pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya…sukar sekali bagi orang kaya untuyk masuk dalam Kerajaan Sorga…” (Mat 19:21-23)
Hidup beragama menjadi bubar hanya karena sayangnya pada harta, lebih dari pada saying kepada orang miskin maupun harta di Sorga. Dia merasa sedih kehilangan harta, sebab harta itu menjadi ilah baginya. Itulah sebabnya orang kaya seperti ini memang dikatakan sukar masuk kedalam Kerajaan Sorga, karena sesembahannya bukanlah Allah, namun berhala harta yaitu keserakahanya sendiri. Maka murka Allahlah yang akan diterimanya, bukan kerajaanNya.
Untuk itulah dengan tegas Almasih member peringatan yang sangat tajam akan ketamakan itu :
“Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun orang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak tergantung dari pada kekayaannya itu.” (Luk 12:15)
Demikianlah sebenarnya, masih masih banyak lagi bukti-bukti dari Kitab Suci yang menunjukkan bahwa harta benda dan kekayaan itu dapat menyimpangkan Iman manusia kepada kemusyrikan, dengan menjadikannya sebagai tumpuan harap dan sebagai tandingan atau pengganti Allah sendiri.
Namun Kitab Suci juga memberi pemecahan dan pengajaran sebagaimana kita dapat menyucikan harta milik kekayaan kita itu agar bukan menjadi tandingan dan pengganti Allah serta tak menuntun kita kepada kemusyrikan yang mendatangkan murka Allah itu.
“Muliakanlah Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segalah penghasilanmu” (Amsal 3:9).
Karena harta itu juga benda ciptaan milik Allah, maka harus tunduk kepada Allah, maka satu-satunya jalan agar manusia tidak jatu dalam kemusyrikan melalui harta miliknya, adalah mengabdi dan menghambakan harta kepada Allah dengan menggunakan untuk kemuliaan Allah. Dengan cara itusajalah harta itu menjadi suci dari beban kemusyrikan dan noda pemberhalaan. Sedangkan bagaimana kita memuliakan Allah dengan harta dan menghambakan harta kepada Allah itu dijelaskan demikan :
“Ikatlah persahabatan (lakukan perbuatan-2 baik, saleh dan bajik semacam persahabatan itu) dengan menggunakan Mamon (melalui harta kekayaan yang engkau miliki) yang tidak jujur (yang tidak tetap dan selalu berubah keadaannya), supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong (supaya jika harta kekayaan itu sudah tidak berpungsi dan tak kau butuhkan lagi, terutama pada saat kau matyi) kamu diterima dalam kemah abadi (Sorgalah sebagai ganti kekayaan itu)” (Luk 16:9).
Beberapa cara “mengikat persahabatan dengan menggunakan Mamon” (berbuat kesalehan, kebajikan, dan kebaikan dengan menggunakan harta kekayaan) itu dijelaskan oleh Almasih demikian :
“Juallah segala milikmu (terutama bagi mereka yang terpanggil untuk hidup seratus persen bagi mengabdi kepada Allah di dalam Kristus, yang dalam praktek Iman Kristen Orthodox sekarang menjadi Rahib) dan berikanlah sedekah ! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di Sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusak ngengat. Karena dimana hartamu, disitu juga hatimu berada” (Luk 1233-34). Juga dijelaskan lagi oleh Kitab Suci :
“Peringatkanlah kepada orang-orang kaya… agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya diwaktu yang akan datang, untuk mencapai hidup yang sebenarnya.” ( I Tim 6:17-18).
Sedangkan kesukaan memberi dan membagi yaitu bersedekah itu dapat dinyatakan dalam banyak hal, yang oleh Almasih dinyatakan demikian :
“sebab ketika Aku (Sang Raja dan Hakim Kekal : Almasih ) lapar, kamu member Aku makan; ketika Akus haus, kamu member Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu member Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kemu member Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara, kamu menunjungi Aku…Aku berkata kepadamu sesunggunya segala sesuatu yang kamu lalkukan untuk ssalah seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).
Maka dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi minum pada orang yang kehausan, member tumpangan orang yang terasing, member pakaian orang yang telanjang, melawat orang yang sakit, mengunjungi orang yang terpenjara, singkat kata segala perbuatan yang bajik untuk kemanusiaan demi mengangkat dan menolong kehinaan si papa dengan dengan menggunakan harta milik kita yang dilandasi iman kepada Kristus. Itu adalah cara kita mengabdikan dan menghambakan harta kita atau milik kita kepada Allah dan memuliakanNya. Karena segalah sesuatu yang kita lakukan itru dikatakan oleh Almasih sebagai melakukan untuk Dia Sendiri.
Kitab Suci juga mengajarkan bahwa di samping bersedekah dan berbuat baik secara umum kepada “saudara yang paling hina” (segenap manusia papa dan sengsara didunia ini) terutama juga kita harus memperhatikan saudara-saudara kita sesama kita orang Kristen Orthodox (“Orthodox”) yang seiman dengan kita, sebagaimana dikatakan :
“…selama ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal 6:10).
Memang ada skala prioritas (jenjang yang lebih diutamakan) dalam kita membagikan apa yang kita miliki sebagai bakti kepada Allah. Dan sesama kaum berimanpun ada beberapa cara di mana kita dapat mengabdikan harta milik itu kepada Allah. Almasih merujuk kepada praktek-praktek keagamaan yang tak perna dikecamnya pada dirinya sendiri, namun penyalah gunaan akan praktek tadi oleh para pelakunya itu mendapat kecaman pedas, yaitu praktek zakat (perpuluhan), sebagaimana dikatakan :
“Celakalah kamu hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenyting dalam hukum Taurat kami abaikan yaitu : keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu (persepuluhan) harus dilakukan dan yang lain (keadilan, belas ksihan dan kesetiaan) jangan diabaikan.” (Mat 23:23)
Orang Farisi dan ahli Taurat dikecam karena kemunafikan sikap dalam ibadah mereka dalam hal menegakkan zakat (perpuluhan). Namun system ibadah itu sendiri dijunjung tinggi oleh Almasih. Dia mengatakan bahwa yang satu yaitu persepuluhan itu harus dilakukan, namun itu harus disertai dengan semangat yang lain : keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan.
Disinilah letak keharusan perpuluhan menurut ajaran Alamasih yang berbeda dengan praktek-praktek para ahli Taurst dan orang Farisi itu. Kecaman terhadap sikap munafik orang Farisi ini dilanjutkan oleh Almasih dengan memberikan perumpamaan tentang dua orang yang berdoa kepada Allah, yang satu orang Farisi yang membanggakan ketaatan ibadahnya :
“…aku berpuasa dua kali seminggu (yaitu : menurut kebiasaan orang Yahudi, hari Senin dan hari Kamis), aku memberikan persepuluhan dari segala penghasilanku” (Luk 18:12).
Dan yang lain pemungut cukai yang berdosa dan tak dapat berdoa karena malu dan rasa tak berartinya dihadapan Allah, kecuali mengatakan :
“Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Luk 18:13)
Dari kedua orang ini Almasih mengatakan ibadah si pemungut Cukai ini yang diterima Allah, sedangkan si orang Farisi ini tidak diterima. Yang tidak diterima itu bukan sistem ibadahnya : Puasa dan Zakat sepersepuluhan itu, namun sikap pamer, mendabik dada, dan tinggi hatinya, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Almasih :
“Sebab barang siapa meninggikan diri (seperti si orang Farisi itu) ia akan direndahkan, dan barang siapa merendahkan diri (seperti si pemungut Cukai itu), ia akan ditinggikan.” (Luk 18:14)
Jelas kepada kita bahwa Almasih tidak mengecam puasa maupun zakat sepersepuluhan, namun memberikan penjelasan bagaimana puasa maupun zakat sepersepuluhan itu harus dilakukan, yaitu dengan kerendahan hati.
Demikianlah kita mendapat pelajaran bahwa, menurut Almasih zakat dari sepersepuluhan dari penghasilan kita itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, namun harus dilakukan dengan segala kerendahan hati, keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. Demikianlah dengan kita member zakat sepersepuluhan dari penghasilan kita, kita telah menyucikan harta milik kita itu dari noda kemusyrikan, ketamakan dan keserahkahan. Jadilah harta milik itu suatu berkat yang memuliakan Allah.
Dan tak kalah pentingnya dari bentuk kemusyrikan yang ditentang Kitab Suci ini adalah :
E. Memuja Hawa Nafsu.
Hal ini dinyatakan oleh Kitab Suci demikian : “…banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus…Tuhan mereka ialah p[erut mereka, kemuliaan mereka adalah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi “ (Fil 3:18:19).
“…aku berpuasa dua kali seminggu (yaitu : menurut kebiasaan orang Yahudi, hari Senin dan hari Kamis), aku memberikan persepuluhan dari segala penghasilanku” (Luk 18:12).
Dan yang lain pemungut cukai yang berdosa dan tak dapat berdoa karena malu dan rasa tak berartinya dihadapan Allah, kecuali mengatakan :
“Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa ini.” (Luk 18:13)
Dari kedua orang ini Almasih mengatakan ibadah si pemungut Cukai ini yang diterima Allah, sedangkan si orang Farisi ini tidak diterima. Yang tidak diterima itu bukan sistem ibadahnya : Puasa dan Zakat sepersepuluhan itu, namun sikap pamer, mendabik dada, dan tinggi hatinya, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Almasih :
“Sebab barang siapa meninggikan diri (seperti si orang Farisi itu) ia akan direndahkan, dan barang siapa merendahkan diri (seperti si pemungut Cukai itu), ia akan ditinggikan.” (Luk 18:14)
Jelas kepada kita bahwa Almasih tidak mengecam puasa maupun zakat sepersepuluhan, namun memberikan penjelasan bagaimana puasa maupun zakat sepersepuluhan itu harus dilakukan, yaitu dengan kerendahan hati.
Demikianlah kita mendapat pelajaran bahwa, menurut Almasih zakat dari sepersepuluhan dari penghasilan kita itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, namun harus dilakukan dengan segala kerendahan hati, keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. Demikianlah dengan kita member zakat sepersepuluhan dari penghasilan kita, kita telah menyucikan harta milik kita itu dari noda kemusyrikan, ketamakan dan keserahkahan. Jadilah harta milik itu suatu berkat yang memuliakan Allah.
Dan tak kalah pentingnya dari bentuk kemusyrikan yang ditentang Kitab Suci ini adalah :
E. Memuja Hawa Nafsu.
Hal ini dinyatakan oleh Kitab Suci demikian : “…banyak orang yang hidup sebagai seteru salib Kristus…Tuhan mereka ialah p[erut mereka, kemuliaan mereka adalah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi “ (Fil 3:18:19).
Yang dimaksud sebagai “seteru Salib Kristus” adalah seteru seteru terhadap segala praktek kehidupan yang rela mengendalikan, melawan, dan memerangi hawa nafsu sampai matinya hawa nafsu tadi, sebagai penerapan makna salib itu bagi kehidupan, sebagai mana dikatakan : “Barang siapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segalah hawa nafsu dan keinginannya” ( Gal 5:24 ). Karena menolak memerangi hawa nafsu maka orang yang demikian menjadikan keinginan perut, aib dan segalah perkara duniawi itu sebagai “Tuhan” mereka. Inilah bentuk pemberhalaan hawa nafsu dan egoism pribadi manusia. Dan inipun termasuk kemusyrikan yang harus dilawan.
Dengan memahami semuanya ini maka umat Kristen Orthodox diajar untuk betul-betul memiliki jiwa Tauhid yang murni dan dalam, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab : “…TIDAK ADA ALLAH YANG LAIN DARI PADA ALLAH YANG ESA” (I Kor 8:4).
Dengan memahami semuanya ini maka umat Kristen Orthodox diajar untuk betul-betul memiliki jiwa Tauhid yang murni dan dalam, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab : “…TIDAK ADA ALLAH YANG LAIN DARI PADA ALLAH YANG ESA” (I Kor 8:4).