Rabu, 31 Juli 2013

Dinamika Dalam Diri Allah Yang Esa


Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS

Allah yang dipercaya oleh Iman Kristen Orthodox berdasarkan Wahyu Alkitabiah adalah Allah yang Hidup. Sebagai Allah yang hidup Ia bukan keberadaan statis yang mandheg/diam, Ia bukanlah “Unmoved Mover” (“Penggerak Yang Tak Bergerak”) dari filsafat Aristoteles. Namun Ia adalah Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Itulah sebabnya di dalam dzat dan hakekatNya yang Esa itu Allah memiliki gerak hidup terutama dalam hubungan antara hypostasis-hypostasis “Wujud Allah” (“Bapa”) “Firman Allah” (“Putra”) dan “Roh Allah” (“Roh Kudus”) didalam diri Allah itu sendiri. Karena adanya data-data Alkitabiah tentang “Gambar Allah” (Kol 1:15, II Kor 4:6, Ibr 1:3) serta “Rupa Allah” (Fil 2:6) dalam menyebut Yesus Kristus sebagai “Firman Allah” yang menjadi manusia, maka dimengerti bahwa ada hubungan kekal timbal balik antara Allah dan FirmanNya ini. Hubungan timbal balik itu adalah antara “Gambar Allah” dengan “Wujud Keberadaan” Allah. Beberapa Bapa Gereja Orthodox memahami hal itu sebagai sudah terkandung dalam makna kata bahasa asli Perjanjian Baru (bahasa Yunani) : “Allah” yang bahasa Yunaninya adalah “Ho Theos”, itu sendiri. Kata Ho Theos ini dimengerti oleh mereka sebagai berasal dari kata “thea” atau “thein” yang berarti “memandang” dalam arti “bertafakur”.
Untuk melanjutkan topik bahasan ini, silakan berlanjut dalam judul :

Selasa, 30 Juli 2013

Makna Hypostasis [Tritunggal Maha Kudus]

Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.

Bagi Iman Kristen Orthodox Allah itu Esa karena Bapa itu Esa, sebagaimana dinyatakan oleh Kitab Suci :”…bagi kita hanya ada satu Allah saja yaitu Bapa…” (I Kor 8:6), dan yang juga diteguhkan oleh Pengakuan Iman Gereja : “…Satu Allah , Sang Bapa….”. Sehingga Sang Bapa itu pokok dan sumber di dalam diri Allah yang hidup maka Bapa itu bukan sekedar suatu keberadaan Ilahi tak berpribadi, namun Ia adalah Allah yang berpribadi, atau berhypostasis. Sedangkan “Firman” atau “Kalimatullah” di dalam Alkitab ditegaskan bahwa Firman Allah itu bukan hanya sekedar serangkaian bunyi dan suara yang memiliki makna dalam wujud kata dan kalimat, sebagaimana “firman/kata-kata” yang dimiliki manusia. Allah tidak sama dengan manusia, oleh karena itu FirmanNya pun tak sama dengan kata-kata manusia. Sementara kata-kata manusia adalah sesuatu yang tercipta dan benda mati namun Firman Allah itu disebut sebagai “Firman yang Hidup (I Yoh 1:1), karena memang “Dalam Dia/Firman itu ada hidup” (Yoh 1:4), sebab “…Anak/Firman mempunyai hidup dalam diriNya sendiri” (Yohanes 5:26). Itulah sebabnya Ia dapat menjadi sarana Theophania (“tajjali : penampakan Ilahi”) dan akhirnya dapat menjelma manusia yang hidup. Karena Firman itu Hidup maka Ia mempunyai kesadaran, dan karena mempunyai kesadaran Ia dapat dikasihi Allah (Yoh 17:24).


Keberadaan Firman Allah yang semacam inilah yang dikatakan bahwa Firman itu memiliki Hypostasis (“realita konkrit”). Demikian juga Roh Allah ini mempunyai ciri sebagai “Roh yang memberi hidup” (Roma 8:1), sebagaimana juga yang ditegaskan oleh Pengakuan Iman Gereja Orthodox, bahwa “Roh Kudus” itu adalah “Sang Pemberi Hidup”, maka ini berarti bahwa “Roh Allah”pun memiliki hidup itu sama seperti yang dimiliki Firman. Karena Roh itu sama seperti Firman Allah berada di dalam Diri Allah Yang Esa, dan Roh itu sama-sama memiliki Hidup seperti Firman, maka pastilah Hidup yang ada dalam Roh itu adalah Hidup yang sama, yaitu HidupNya Bapa seperti yang ada di dalam Firman juga. Jadi jelas dalam Allah itu hanya ada “Satu Hidup” saja yang Bapa itulah sumberNya hidup tadi. Ini makin menegaskan EsaNya Allah itu. Demikianlah sebagaimana Firman yang hidup itu memiliki “hypostasis” (“realita konkrit”) karena memiliki hidup, maka RohNyapun untuk alasan yang sama juga memiliki “hypostasis” (“realita konkrit”). Sehingga di dalam diri Allah yang Esa itu terdapat tiga hypostasis. Tiga hypostasis ini sama sekali tidak bisa dipisahkan karena melekat satu dalam diri Bapa, dan dalam dzat-hakekat Allah yang Esa, namun cirri-ciriNya dapat dibedakan.



Cirri-ciri Khas Hypostasis
Ciri-ciri khas yang membedakan dari ketiga hyspostasis (realita konkrit) di dalam diri Allah yang Satu itu adalah demikian :
Hypostasis Bapa sebagai wujud dari Allah yang Esa mempunyai ciri khas dari kekal azali sampai kekal abadi tak berpermulaan serta tak berpenghabisan. Ciri khas yang lain dari wujud Allah atau hypostasis “Bapa” adalah tidak diperanakkan oleh siapapun, namun ada dengan sendirinya. Namun karena dalam diri Bapa ini terdapat “FirmanNya”, maka dari kekal azali sampai kekal abadi “hypoastasis Bapa” atau “Wujud Allah” itu selalu mewahyukan “FirmanNya” di dalam DiriNya Yang Esa itu, dan proses “pewahyuan Firman Allah” (“tajjali Allah dalam sifat “Firman”Nya) di dalam hekekat Allah yang Esa inilah yang disebut bahwa bahwa “Bapa memperanakkan hypostasis Putra” Ini bermakna bahwa tidak ada waktunya dimana Bapa ini tidak mengenal diriNya melalui “pewahyuan FirmanNya” dalam diriNya Yang Esa, atau dengan kata lain tak ada waktunya “Bapa tidak memperanakkan Sang Putra”. Tanpa awal dan tanpa akhir Allah yang Esa selalu mengenal DiriNya di dalam FirmanNya (Mat 11:27) atau “Sang Bapa ini selalu memperanakkan hypostasis Putra” di dalam dzat hakekatNya yang Esa. Selanjutnya cirri khas dari “hypostasis Bapa” atau “Wujud Allah” itu adalah memiliki RohNya sendiri atau “Roh Kudus” yang sejak kekal azalai sampai kekal abadi berada satu dan melekat dalam dzat hakekat Allah yang satu itu ( I Kor 2:11), serta keluar dari Allah ini (Yoh 15:26). keluarNya Roh Kudus dari Allah di dalam dzat hakekatNya Yang Esa berlangsung dari kekal azali sampai kekal abadi, tanpa awal dan akhir. Dengan demikian cirri khas hypsostasis Bapa adalah Ia adalah prinsip ke-Esa-an didalam Diri Allah, Ia adalah Pokok dan sumber dari FirmanNya dan RohNya, karena Firman Allah dan Roh Allah itu berada satu di dalam dzat hakekat Allah yang satu, dan dariNya Firman Allah “diperanakkan” serta dariNya Roh Allah “keluar”.

Sedangkan ciri khas dari hypostasis Anak atau Firman Allah/Kalimatullah adalah Ia bersemayam dalam Allah Yang Esa sebagai Kalimatullah yang kekal. Namun melalui Firman ini juga keberadaan Allah yang tersembunyi itu dinyatakan, karena Allah mengenal diriNya atau ber”tajjali” di dalam FirmanNya ini. Sehingga Firman Allah ini dinyatakan sebagai “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibr 1:3), karena sebagai yang dinyatakan atau diperanakkan Bapa Ia jelas memiliki keberadaan sebagai “Gambar Allah” itu sendiri (Kol 1:15). “Diwahyukan” atau sebagai “Tajjali” Allah itulah cirri khas dari hypostasis Firman Allah itu. Inilah yang disebut dengan bahasa Theologis sebagai yang “diperanakkan dari Sang Bapa” sebelum segala zaman itu. Jadi ciri khas dari Firman Allah atau hypostasis Sang Putra itu adalah “diperanakkan dari Sang Bapa” ini. Karena Ia bukan wujud Allah namun Firman Allah ,maka Ia tidak dapat menjadi sumber keluarNya Roh Kudus, hanya Bapa atau hypostasis Wujud Allah saja yang menjadi sumber keluarNya Roh Kudus. Firman Allah ada sejak kekal karena Sang Bapa ada sejak kekal.

Sedangkan ciri khas daripada Roh Kudus sebagai hypostasis dari prinsip hidup dan kuasa di dalam Allah Yang Esa itu, adalah bahwa Ia bersemayam di dalam Diri Allah ( I Kor 2:10-11). Karena Roh Allah juga disebut “nafas Allah” (Maz 33:6), maka sebagai nafas Allah jelas Ia keluar dari Allah. Itulah sebabnya ciri khas Roh Kudus adalah bahwa Ia “keluar dari Bapa”, sesuai dengan pernyataan Alkitab “…Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa…” (Yoh 15:26), sebagaimana yang juga ditegaskan dalam Pengakuan Iman Gereja Orthodox : “…Roh Kudus …yang keluar dari Sang Bapa …” “KeluarNya” Roh Kudus dari Bapa ini tidak disebut “diperanakkan” sebagaimana keluarNya Firman Allah dari Bapa. Karena “Firman Allah” keluar dari Bapa. Karena “Firman Allah” keluar dari Allah sebagai sarana “tajjali” Allah sehingga Allah mengenal diriNya melalui FirmanNya ini, karena itula Firman Allah disebut “Gambar Allah”, dan sekaligus Anak Allah, karena seorang anak adalah gambaran dari bapanya, dengan demikian keluarNya ini disebut sebagai “diperanakkan”. Sedangkan Roh Kudus keluar dari Allah bukan menjadi sarana “tajjali” atau sarana pernyataan diri Allah, namun sebagai lingkup yang didalamNya “tajjali” Allah dalam FirmanNya itu dapat difahami, dimengerti, serta terlakssana. Jadi seolah-olah Roh Kudus adalah sebagai “tempat” yang memungkinkan terjadinya tajjali atau penyataan diri Allah di dalam FirmanNya kepada DiriNya sendiri itu.

Demikianlah ciri-ciri khusus dari masing-masing hypostasis dalam diri Allah Yang Esa, dan masing-masing cirri khas itu tidak dipunyai oleh hypostasis yang lain, dan tak bole dikacaukan. Hypostasis Bapa itu tidak diperanakkan juga tak memperanakkan secara biologis. Namun hypostasis Bapa itu “mewahyukan FirmanNya” dalam dan kepada diriNya dalam arti ini Bapa dikatakan “memperanakkan Sang Putra, dan karenma Bapa itu memiliki nafasNya atau prinsip hidupNya, maka sebagai nafas atau prinsip hidup itulah Bapa dikatakan sebagai sumber “KeluarNya Roh Kudus”. Sedangkan hypostasis Putra atau Firman Allah itu berciri diperanakkan yaitu diwahyukan atau sebagai sarana “tajjali” oleh Bapa. Dan hypostasis Roh Allah, atau Sang Roh Kudus itu bercirikan “keluar dari Sang Bapa”. Keadaan Allah yang demikian ini kekal adanya.

Allah Yang Esa , Tritunggal Maha Kudus

Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.

Pengantar : Landasan Pemahaman Berdasarkan Pengakuan Iman Nicea

Mengenai keberadaan Allah Yang Esa itu Pengakuan Iman Nicea selanjutnya mengatakan bahwa Allah yang hanya satu dan diberi gelar “Sang Bapa Yang Mahakuasa” ini memiliki keradaan yang sangat unik, karena di dalam kesatuan diriNya itu memilki “Anak Tunggal” yang bukan berasal dari luar kodrat Allah “Yang diperanakan dari Sang Bapa” bukan dengan suatu permulaan waktu tetapi “sebelum segala zaman” yaitu dari dalam kekekalan. Berarti dalam kekekalan itulah Allah ini dalam kodratnya sendiri “memperanakkan Anak Tunggalsebagai pancaran atau pantulan diriNya sendiri yang adalah terang (Nur) itu. Sehingga Anak Tunggal Allah yang berada kekal dalam kodrat Allah ini disebut “Terang Yang Keluar Dari Terang”.
Sebagai pancaran dari Nur yang adalah Allah, maka jelas yang terpancar atau terpantul berwujud Nur pula.  Karena ada satu Allah yang bersifat Nur, maka Allah nyang Satu ini pastilah Allah yang sejati. Pancaran Diri Allah yang sejati yang berasal dari Kodrat DiriNya yang berwujud “Nur yang keluar dari Nur (allah)” ini, jelaslah memiliki sifat yang sama dengan Allah yaitu “Allah Sejati yang keluar dari Allah sejati”. Dengan demikian pancaran Nur Ilahi yang berkodrat Allah sejati itu bukan makhluk, yaitu Dia “bukan diciptakan” namun “diperanakkan” yaitu dikeluarkan secara kodrati dari kodrat Ilahi sendiri di dalam kekekalan, sehingga kodratNya sama dengan asal-usulNya : Allah yang Esa. Berarti Nur yang keluar dari Nur ini berada dalam “Satu dzat-hakekat dengan Sang Bapa” karena Allah itu memang hanya satu yang “Dzat – hakekatNya” satu pula.
Mengikuti rincian makna Pengakuan Iman ini kita melihat sekarang bahwa yang disebut “Anak Allah” ini bukan makna kata jasmaniah. Sebab meskipun ada kata-kata “diperanakkan” dan “Anak Tunggal”, tetapi kita tak menjumpai kata “Ibu” atau yang “Wanita pengandung Anak Allah”. Tak pula kita jumpai kata kapan saat Anak Allah itu dilahirkan. Dia diperanakan di luar waktu, “sebelum segala zaman”, berarti dia diperanakkan terus-menerus di dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu. Karena arti “memperanakkan” di sini adalah mengeluarkan, atau juga memantulkan, berarti Allah selalu memantulkan Cahaya DiriNya dalam DiriNya sejak kekal, dan itulah makana diperanakkan itu.
Siapakah yang disebut Anak Allah yang berasal dalam diri Allah Yang Esa ini ? Dijelaskan oleh Pengakuan Iman itu “Yang MelaluiNya segala sesuatu diciptakan”. Dan kita tahu menurut Alkitab bahwa Allah menciptakan segalah sesuatu melalui “FirmanNya” atau “SabdaNya”. Jika demikian jelas yang dimaksud Anak Tunggal di sini bukan makhluk atau ciptaan yang diadakan oleh Allah, namun Ia adalah Firman Allah yang kekal, yang melaluiNya Allah mengadakan sekalian makhluk atau segenap ciptaan.
Itulah sebabnya Ia satu dzat-hakekat dengan Allah, dan memiliki sifat Ilahi, dan keluarNya dari Allah sendiri, karena Ia berada satu di dalam Allah Yang Esa itu sendiri. Karena Allah yang Esa itu disapa dengan gelar kias sebagai “Bapa”, maka “Firman Allah” yang berasal dari kandungan dzat Allah dan yang keluar dari Allah yang Esa itu disebut dengan gelar kias “Anak”. Karena Allah itu Esa, maka FirmanNya juga hanya ada satu saja. Padahal Firman Allah ini diberi gelar kias sebagai “Anak”, maka jelas Firman yang hanya satu itu, disebut dengan gelar kias “Anak Tunggal Allah”, karena Allah memang tak beranak maupun diperanakkan dalam pengertian jasmani yang kita kenal.
Firman Allah yang kekal itu disebut “Anak Yang Tunggal” (“Firman itu…sebagai Anak Tunggal Bapa…”),(Yohanes 1:14), serta “Anak Tunggal Allah/Bapa” yaitu Firman Yang Kekal itu dinyatakan sebagai yang “ada di pangkuan Sang Bapa” (Yoh 1:18), dan “Pangkuan Bapa” adalah “Dzat-Hakekat Bapa/Allah”. Dengan demikian Firman Allah yang dikiaskan sebagai “Anak Tunggal Allah” itu memang berada dalam “Dzat Hakekat Allah” yang Esa itu.

Sedangkan mengenai Roh Allah yang kekal dikatakan :
…Roh…menyelidiki…hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah …yang tahu, apa yang terdapat dalam diri manusia, …roh manusia itu sendiri yang ada didalam dia…yang tahu, apa yang terdapat diri Allah…Roh Allah” (I Kor 2:10-11).
Roh Allah berada dalam diri Allah, sebagaimana roh manusia ada dalam diri manusia. Firman Allah ada di”pangkuan Bapa” yaitu dalam hakekat Bapa yang satu. Dengan demikian dalam dzat-hakekat Allah yang Esa itu berdiamlah FirmanNya yang kekal dan RohNya yang kekal. Sehingga hanya Allah Yang Esa (Bapa) itu sendiri, beserta Firman serta RohNya uang ada di dalam Diri dan Dzat-HakekatNya Yang Esa itu saja yang mengerti dzat-hakekat dai pada Allah tersebut.

Allah yang Esa ini juga memiliki Roh Kudus, yaitu Roh yang “Keluar dari Sang Bapa”, yang berarti Roh ini asalnya juga dari Sang Bapa (Allah Yang Esa) itu dan berdiam di dalam Diri Allah Yang Esa itu. Dengan demikian Allah yang Esa itu merupakan pokok dan sumber yang dariNya Anak Tunggal Allah (“Firman Allah yang hanya satu-satuNya”) diperanakkan sejak kekal (“Diperanakkan dari Sang Bapa”) dan dariNya pula Roh Kudus itu dikeluarkan dari kekal (“Keluar dari Sang Bapa”).
Melalui Anak Tunggal (“FirmanNya yang hanya Satu”) ini Allah menciptakan (Allah…Pencipta…) segalah sesuatu (“yang melaluiNya segala sesuatu diciptakan”). Padahal dalam Kitab Suci yang menjadi sarana penciptaan dalam diri Allah adalah “Firman Allah” berarti yang dimaksud dengan Anak Allah itu, sebagaimana yang telah kita katakana di atas, tak lain adalah “Firman Allah” sendiri. Itulah sebabnya Ia satu dalam dzat-hakekat Allah. Tetapi dalam memberikan hidup dan kehidupan kepada segala sesuatu yang telah diciptakan melalui “Firman”Nya yaitu “Anak Tunggal”Nya itu Allah menggunakan RohNya yang disebut Roh Kudus (“Roh Kudus…Sang Pemberi Hidup…”). Demikianlah maka Roh Kudus sebagaimana Anak Allah yang melaluiNya Allah menciptakan segala sesuatu itu, menjadi “Tuhan” (Penguasa) bagi segenap makhluk. Maka jelaslah Allah itu memang satu, sehingga Roh Kudus itu “bersama Sang Bapa” artinya dari dalam hakekat Allahlah Roh Allah berasal, “dan Sang Putra” karena Anak Allah yang adalah “Firman Allah” beradanya dalam Dzat hakekat Allah yang Esa bersama dengan Roh Allah sendiri, “disembah dan dimuliakan”. Demikianlah penyembahan umat Kristen Orthodox kepada Allah Yang Esa itu penyembahan yang bersifat hidup dan intim, karena dia menyembah Allah melalui Firman Allah yang menghantar manusia kepada Allah, dan melalui Roh Allah yang memberikan terang dan hidup untuk menyatu dengan Allah yang Esa itu. Dan fakta keberadaan Allah yang Esa yang demikian inilah yang dalam Theologia Orthodox disebut sebagai “Tritunggal Mahakudus”.
Dengan demikian dalam Iman Kristen Orthodox Roh Kudus bukanlah nama Malaikat Jibril namun Roh Allah sendiri. Malaikat Jibril adalah ciptaan dari Roh Kudus ini juga, sebab malaikat Jibril itu diberi hidup oleh Allah melalui RohNya ini juga sebagaimana makhluk-makhluk lainnya. Karena Allah itu Esa, yaitu Bapa tadi, maka haruslah memang FirmanNya (Anak) itu berasal dari dan berdiam di dalam Allah yang Esa yaitu Bapa ini, demikian pulah RohNya pun harus keluar dari dan berdiam dalam Bapa yang Esa ini, dengan demikian Keesaan Allah terjaga. Karena Allah itu memang  Satu, Esa, tiada tandingan atau sekutu bagiNya. Jadi Tritunggal Maha Kudus adalah Allah yang Esa (Sang Bapa) yang memiliki dalam dzat-hakekatnya yang Esa Firman yang kekal (Anak) dan Roh yang kekal (Roh Kudus) yang berada dan melekat satu di dalam DiriNya yang Esa itu.
Jadi istilah “Tritunggal Maha Kudus” itu bukan berbicara mengenai jumlah Allah, namun mengenai keberadaan di dalam diri Allah yang Esa tadi tiada terbilang dan satu tiada bandingan itu. Iman Kristen Orthodox tidak percaya adanya Allah yang lebih dari satu karena Allah itu Esa menurut Alkitab. Jadi Tritunggal bukan “Tiga” IlaH seperti yang dikatakan dalam An-Nissa 171 :”Hai ahlil Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu…..dan janganlah kamu katakana : Tuhan itu tiga….”. Tritunggal bukanlah “Tiga Tuhan yang terpisah-pisah” atau “Tiga Tuhan yang digabungkan” atau “Tiga Tuhan yang dipersatukan”, namun itu adalah sebutan bagi Allah Yang Esa itu sendiri yang dalam dzatNya memiliki Kalimat dan Ruh yang kekal tanpa awal maupun akhir. Bukan pula Allah dalam pemahaman Tritunggal itu sebagai “yang ketiga daripada yang tiga” seperti yang dikatakan dalam Al-Maidah 72 karena Allah itu hanya satu-satuNya dan yang pertama dalam DiriNya yang Esa yang memiliki Kalimat dan Ruh kekal itu. Serta lebih bukan lagi jika Allah itu adalah “Isa dan Ibunya”  sebagai tuhan-tuhan /ilah-ilah “di samping Allah” seperti yang dikatakan dalam Al-Maidah 116, sebab Tritunggal itu bukan terdiri dari unsur-unsur, namun Dzat Azali dari Allah sendiri yang memiliki Kalimat dan Roh yang kekal itu. Maryam tak perna disebut sebagai isterinya Allah, sebagai tandingan atau pasangan dari Allah Bapa. Jika sampai ada pemikiran yang demikian jelaslah itu pemikiran yang amat sesat, dusta dan terkutuk. Maryam adalah “hamba Allah” (Lukas 1:38), sama seperti “Isa”pun adalah “Hamba Allah” dalam penjelmaan sebagai manusia (Filipi 2:5-7).

Senin, 29 Juli 2013

Pengumpamaan Allah Seperti Insan

Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.

Anthropomorfisme/Mutajasimah (Pengumpamaan Allah Seperti Insan)

Di dalam pemikiran theologis yang monotheis, misalnya : dalam pemikiran Yahudi, Islam dan Kristen Orthodox (Khususnya Kristen Orthodox) kadang-kadang timbul sikap ekstrim dalam mengesankan Allah ini. Di dalam keKristenan Orthodox misalnya pernah muncul keyakinan bahwa “Firman Allah” itu bukan merupakan keberadaan dalam wujud Allah yang kekal, karena jika ada Firman Allah yang kekal ditakutkan adanya dua Ilah, yaitu : Allah itu sendiri dan FirmanNya, oleh karena itu Firman Allah yang dalam bahasa Theologia Kristen Orthodox disebut “Anak Allah” adalah tercipta. Inilah pendapat dari ajaran Arianisme, yang di jaman modern ini dilanjutkan oleh kelompok Saksi-saksi Yehuwah. Fenomena sejajar muncul pula dalam agama Islam, dalam bentuk aliran pemikiran theologis dari aliran Mu’tazillah yang menyatakan bahwa Allah itu tidak mempunyai sifat-sifat. Oleh karena itu aliran ini meyakini bahwa Allah mendengar dengan DzatNya (hakekatNya), Allah mengetahui dengan DzatNya (hakekatNya), Allah berbicara dengan DzatNya (hakekatnya), Allah mendengar dengan DzatNya (hakekatNya), dan seterusnya. Dengan mengatakan bahwa semua sifat Allah itu dikembalikan kepada Dzatullah, maka kaum Mu’tazillah yakin bahwa mereka telah memurnikan Ke-Esa-an Allah secara konskwen. Karena jika Allah itu memiliki sifat-sifat berarti ada dua Ilah yaitu Dzat dan Sifat. Ini sudah merupakan penyangkalan terhadap Ke-Esa-an Allah. Demikian faham Mu’tazillah.
Faham yang tidak jau berbeda dengan faham Arianisme dalam sejarah Kristen Orthodox, yang juga meyakini bahwa “Firman Allah” itu bukan satu dalam hakekat (“homo ousios”) Diri Allah. Dengan demikian Allah tak memiliki “Firman” berarti tak memiliki sifat “Kalam” di dalam DiriNya sendiri. Sebagaimana dalam Agama Islam Kaum Asy’ariyah yang merupakan mayoritas di Indonesia ini menolak ajaran Mu’tazillah ini, demikianlah Iman Kristen Orthodox menolak ajaran Arianisme dan Saksi-saksi Yehuwah. Sanggahan kaum Asy’ariyah dalam agama Islam terhadap ajaran kaum Mu’tazilah itu berwujud penegasan bahwa Allah itu memiliki banyak sifat, bukan hanya satu atau dua sifat saja. Bagi kaum Asy’ariyah Allah itu mendengar dengan pendengaranNya, Allah mengetahui dengan pengetahuanNya, Allah melihat dengan penglihatanNya, Allah berfirman dengan Firman/KalimatNya, Allah hidup dengan kehidupanNya, dan seterusnya. Dalam hal ini Iman Kristen Orthodox segaris dengan pemikiran Asy’ariyah ini. Karena iman Kristen Orthodox menegaskan bahwa Allah itu memang memiliki Firman, Hidup, Pengetahuan, Hikmat, Pendengaran, Penglihatan dan sebagainya. Meskipun Firman Allah, HidupNya Allah, Pengetahuan Allah, Hikmat Allah, Pendengaran Allah, serta Penglihatan Allah ini berbeda hakekatNya dari sebutan yang sama yang dikenakan pada makhluk (ciptaan)Nya terutama manusia.
Oleh karena itu ungkapan Alkitabiah yang seolah-olah menggambarkan Allah mempunyai sifat-sifat dan keberadaan jasmani itu harus dimengerti sebagai ungkapan “anthropomorfisme” yaitu ungkapan-ungkapan pengandaian yang menggunakan bahasa manusia dengan mengumpamakan jasmani manusia untuk menggambarkan keberadaan Allah, namun bukan makna secara literal. Ini dibuktikan bahwa dalam beberapa ayat yang mengandaikan Allah seperti manusia diberi penjelasan kata “seperti” dan “menyerupai” (Kel 24:10, Yehz 1:26-28). Itu membuktikan bahwa penggambaran itu tak boleh dimengerti secara Literal. Sebab jikalau itu dimengerti secara literal akan bertentangan dengan pernyataan Alkitab yang mengatakan tentang Allah :
Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Akau, sehingga kami (Allah dan yang dibandingkan denganNya tadi) sama ?” (Yes 46:5).
Artinya Allah itu tidak sama bila dibandingkan ataupun diumpamakan dengan apapun. Termasuk pengumpamaan secara bentuk jasmani (“ anthropomorfisme” ) tadi.
Contoh-contoh pengumpamaan Allah : 
  • bahwa Allah punya “wajah” {“…dan mereka (ahli surga) akan melihat wajahNya…” (Wah 22:4)} artinya punya “essensi, dzat-hakekat”
  • Allah punya “tangan” (“Sesungguhnya tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkan….”(Yes 59:1), artinya punya kuasa untuk menolong,
  • Allah punya “kaki” (“lalu mereka melihat Allah Israel, kakiNya berjejak pada sesuatuyang buatannya seperti lantai dari batu nilam….”,(Kel 24:10) artinya punya cara untuk menghadirkan DiriNya pada makhlukNya,
  • Allah punya “tubuh” (“…kelihatan seperti rupa manusia, Dari yang menyerupai pinggangnya sampai keatas….dari yang menyerupai pinggangnya sampai kebawah…Begitulah kelihatan gambar kemuliaan TUHAN….,” (Yez 1:26-28), artinya punya keberadaan nyata dalam kekekalan ilahi,
  • Allah “duduk di atas takhta” (“… aku melihat Tuhan duduk diatas takhta yang tinggi dan menjulang….”) (Yes 6:1) artinya memerintah sebagai raja dan menguasai seluruh alam,
  • Allah “berjalan-jalan” (“ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan, yang berjalan-jalan di taman itu….”) (Kej 3:8) artinya Allah selalu hadir di mana-mana memperhatikan makhlukNya.
  • Allah punya “sayap” (“Dengan kepakNya Ia akan menudungi engkau, dibawah sayapNya engkau akan berlindung…”) (Maz 91:4) artinya penjagaan dan perlindungan Allah.
  • Bahkan Allah “menyesal” (“maka menyesallah Tuhan, Bahwa Ia telah menjadikan manusia dibumi…” ) (Kej 6:9) artinya Allah tidak membiarkan dosa manusia tanpa hukuman. Sehingga dari kasih atas umat beriman berubah kepada penghukuman atas kekafiran mereka itu digambarkan sebagai penyesalan Allah.

Dan masih banyak lagi anthropomorfisme” mengenai Allah.

Energi Allah

Oleh : Romo Yohanes Bambang,MTS

Jika dalam dzat-hakekatNya Allah itu tak dapat dimengerti manusia, dan melalui sifat-sifatNya saja manusia dapat mengerti tentang keberadaan Allah itu, maka dalam energiNya manusia dapat mengalami hadirat Allah itu
Mengenai Energi Ilahi itu diajarkan demikian oleh Alkitab : Alkitab sebagaimana kita bahas diatas mengatakan :

Tak seorangpun pernah melihat Allah…” (Yoh 1:18),

…tidak seorangpun mengenal Bapa…” (Mat 5 11:27),

O, alangkah dalamnya kakayaan hikmat dan pengetahuan Allah ! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan tak terselami jalan-jalanNya” (Rom 11:33),

…tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat didalam diri Allah…” ( I Kor 2:11 ),

…bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorang tak perna melihat Dia, dan memang manusia tak dapat melihat Dia” ( I Tim 6:16 ).

Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa Allah tak pernah dikenal, tak pernah dilihat, tak terselidiki, tak terselami, tak diketahui apa yang ada di dalam DiriNya, tak terhampiri, serta tak dapat dilihat manusia. Pendek kata ayat-ayat diatas menunjukkan Allah itu tak dimengerti sama sekali keadaanNya oleh manusia. Allah itu begitu ghaib dan misteriusNya sehingga dijelaskan dengan kata-kata seperti itu. Namun demikian ada ayat-ayat lain dalam Alkitab yang mengatakan demikian :

…Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab didalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada…” (Kis 17:27-28).

…apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka…apa yang tidak nampak daripadaNya, yaitu kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, dapat nampak…dari karyaNya…” (Rom 1:19-20).

Kudus, kudus kuduslah Tuhan semesta Alam, Seluruh Bumi Penuh KemuliaanNya” (Yes 6:3).

Dan masih banyak ayat-ayat lain yang serupa. Bertentangan dengan ayat-ayat di atas di mana dijelaskan bahwa Allah tak dikenal, tak dimengerti, tak terselami, tak nampak dan tak dapat dihampiri, ayat-ayat yang kita kutip ini menunjukkan justru sebaliknya. Disini Allah disebutkan sebagai yang tak jauh dari manusia masing-masing, manusia seolah olah berenang di dalam hadirat Allah sendiri, Allah Nampak dari karyaNya, dan kemuliaan Allah itu memenuhi seluruh bumi, yang berarti bumi itu dipenuhi dengan hadirat Allah.
Mengapa ada keberadaan yang seolah-olah kontradiksi ini mengenai Allah ? Ini bukan kontradiksi, namun dua cara hadirat Allah yang berbeda.
Yang diatas menjelaskan Allah dalam kehadiranNya pada DiriNya sendiri, yaitu pada Esensi, Hakikat, atau Dzat Ke-Allah-anNya sendiri, yaitu keilahian dan kekuatanNya yang kekal. Ini memang tak dimengerti oleh manusia.
Sedangkan kelompok kutipan yang kedua menjelaskan cara kehadiran Allah di antara makhlukNya (hidup, gerak, dan adanya manusia, karyaNya pada alam, serta seluruh bumi), dan kehadiran itu berwujud “KEMULIAAN” yang memenuhi bumi, sehingga manusia dapat hidup, bergerak dan ada, dan kemuliaan itu Nampak pada karya-karya Allah itu, artinya pada hasil aktivitas perbuatan Allah. Karena hasil aktivitas perbuatan Allah itu pada penciptaan alam semesta, dan di alam semesta itu pula hadir : “kemuliaan” dan “aktiivitas perbuatan Allah” itu identik adanya.
Demikianlah ayat-ayat yang mengatakan tentang keghaiban Allah diatas itu menunjukkan keberadaan Allah pada DiriNya sendiri yang memang tak dapat dimengerti manusia yaitu “Essensi, Hakekat” (Dzat!!!, bukan zat yang terdiri dari padat, cair, dan gas) Allah sendiri, dan ayat-ayat yang menyatakan tentang kehadiran Allah di dunia yang dapat dialami manusia itu menunjuk kepada “Aktivitas perbuatan Allah” atau “Kemulian Allah” yaitu “Energi Allah” atau “Energi Ilahi” adalah kehadiran Allah pada DiriNya sendiri, atau hakekat Allah itu sendiri, dan “Energi Ilahi” adalah kehadiran Allah ditengah-tengah ciptaanNya, yaitu aktivitas perbuatanNya di luar “Essensi”Nya. Namun kedua-duanya adalah kehadiran yang nyata dari Allah itu sendiri
“Energi Ilahi” bukanlah sesuatu yang diciptakan Allah, namun “energi tak tercipta” yang mengalir keluar dari dalam esensi itu sendiri.
Manusia tak dapat mengalami Allah dalam EssensiNya sebab itu mustahil, namun dapat mengalaminya melalui “Energi” atau “Kemuliaan”Nya ini, seperti yang kita lihat dari ayat-ayat Alkitab diatas.

Bahwa “kemuliaan Allah” itu adalah “Energi Allah” yang dilaksanakan oleh Firman/Anak dan RohNya/Roh Kudus ini diajarkan Alkitab demikian, terutama dalam kaitannya dengan kebangkitan Yesus Kristus, karena pengalaman kita akan Energi Ilahi ini terkait dengan pengalaman penebusan dalam Kristus, sedangkan yang kita kutip diatas adalah Energi Ilahi dalam kaitannnya dengan pemeliharaan ciptaan secara umum :

…Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh KEMULIAAN BAPA” (Rom 6:4).

Ayat ini menjelaskan dengan tegas bahwa “Kemuliaan Bapa” itu bukan sekedar konsep yang abstrak, namun betul-betul kekuatan atau daya kuasa , yaitu “Energi” yang dapat mengalahkan kematian dan menyatakan hidup kekal, yaitu hidup yang tak berkematian. Padahal “Kekekalan” itu sesuatu yang tak tercipta, berarti “kemuliaan” yang mempunyai kuasa untuk mengalahkan kematian dan memberikan hidup yang kekal ini pasti kekal pula. Berarti “kemuliaan Bapa” ini adalah sesuatu yang Tak Tercipta, namun kekal berasal keluar dari dalam Diri Bapa sendiri.

…Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati…akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh RohNya, yang diam di dalam kamu” (Rom 8:11).

Ayat ini menjelaskan bahwa kebangkitan yang tadinya dikatakan dilakukan oleh “Kemuliaan Bapa” itu ternyata sekarang dilakukan oleh “Roh Allah”. Namun Roh Allah itu jelas tidak identik dengan “Daya Kuasa” atau “Daya Aktif” yaitu “Kemuliaan Bapa” itu.
Ajaran Saksi Yehuwa yang menolak Tritunggal Kudus, mengatahkan bahwa Roh Kudus itu adalah “Daya Aktif” Allah atau menurut bahasa Alkitab, yang dibawah nanti akan kita buktikan disebut sebagai “Energi Ilahi” atau “Energi Allah”. Mereka kacau antara “Energi Ilahi” yang menjadi milik dari Bapa, oleh FirmanNya didalam RohNya, itu dengan Roh Allah sendiri ini. Roh Allah memang “keluar” dari Allah (Yoh 15:26) namun bukan Daya Aktif Allah, sebab Firman Allah/Anak Allahpun “keluar” dari Allah (Yoh 8:42), namun Dia juga bukan disebut sebagai “Daya Aktif” Allah bahkan oleh Bidat Saksi Yehuwapun.
Sebab “Daya Aktif” itu menunjukkan pada “Aktifitas Perbuatan” sedangkan Roh Allah karena Ia itu ber-Hypotasis maka Ia adalah pribadi yang dapat “berdoa” (Rom 8:26), “Menyelidiki Diri Allah” (I Kor 2:10), “mencegah” dan “tidak mengizinkan” (Kis 16:6-7), “dibohongi” (Kis 5:3), “didukakan” (Ef 4:30). Sifat-sifat pribadi yang mana tak dimiliki oleh “kemuliaan” atau “energi” atau “daya aktif” Allah itu
Jadi Roh Allah itu berbeda dengan daya aktif Allah atau “kemuliaan Bapa” ini. Namun Roh Allah inilah yang melaksanakan gerak dari energi Ilahi itu, sebagaimana yang dikatakan mengenai karunia-karunia Roh Kudus dalam I Kor 12. Karunia-karunia Roh Kudus itu dinyatakan sebagai “Kharismatoon” (I Kor 12:14) sebagai pemberian dari Roh Kudus, namun dinyatakan sebagai “diakonioon” (I Kor 12:5) dalam dampak yang dilakukannya di dalam Gereja, sedangkan dalam dirinya sendiri yang berasal dari Allah disebut sebagai “Energhematoon” serta Allah sendiri disebut sebagai “Ho Energhoon” atau “Yang Meng-Energi-kan/mengerjakan” (I Kor 12:6). Berarti ‘’Kharisma Roh Kudus’’ itu adalah “Energhima” atau “Hasil dari Energi” yang berasal dari Allah, dilayankan (diakonia) untuk dan atas Nama Tuhan Yesus Kristus, serta dikaruniakan (Kharisma) oleh Roh Kudus,. Sebab mengenai fungsi Roh Kudus itu dinyatakan : “Tetapi semuanya ini (yaitu: khrisma-kharisma Roh Kudus, sebagai “energihima” Allah) dikerjakan (energhei) kai to auto pneuma (oleh Roh yang satu dan yang sama itu juga)…” (I Kor 12:11). Ayat-ayat ini jelas mengatakan bahwa “energi Allah” atau “kharisma Roh Kudus”, itu di “energikan” oleh Roh Kudus. Berarti Roh Kudus berbeda dengan “Energi Ilahi”. Roh Kudus adalah yang menjalankan atau melaksanakan atau mengerjakan Energi Ilahi itu di dalam kehidupan makhluk. Oleh karena itu “kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Yesus itupun, “dienergikan” oleh Roh Kudus, sehingga Roh Kudus dikatakan sebagai yang membangkitkan Yesus Kristus.

Kristus mengatakan; “Bapa mengasihi Aku” oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun yang mengambilnya dari padaKu (artinya, Yesus tidak mati karena terpaksa atau karena keharusan mati seperti layaknya manusia lainnya), melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri (artinya, Dia bebas dan berkuasa untuk menghendaki kapan Dia mati, atau juga kapan untuk tidak mati sama sekali). Aku berkuasa memberikannya (artinya, Dia mempunyai kuasa/kedaulatan untuk dapat mati atau untuk tidak dapat mati), dan berkuasa mengambilnya kembali (artinya, jika Dia matipun Dia punya kuasa dan kedaulatan untuk membangkitkan DiriNya sendiri lagi)” (Yoh 10:17-18).
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Yesus itu yang memiliki Kuasa untuk membangkitkan DiriNya sendiri “Kuasa” apa ini ? Inilah Kuasa yang sama, seperti “kemuliaan Bapa” dan kuasa kebangkitan yang dilakukan oleh Roh Kudus juga. Berarti Allah (Bapa), Firman (Anak, Yesus Kristus), dan Roh Kudus (Roh Allah) itulah yang membangkitkan kemanusiaan Yesus Kristus (Firman Menjelma) dari kematian oleh “Kemuliaan Bapa” yaitu “Energi Allah” itu keluar dari Bapa, melalui Firman Nya serta RohNya sekaligus. “Energi Allah” itu keluar dari Bapa, melalui Firman/Anak di dalam Roh Kudus datang kepada makhluk terutama manusia.

Bahawa “kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Energi Allah” dikatakan demikian oleh Alkitab :

…dan betapa hebat kuasaNya (tees dynameoos autou) bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasaNya (kata teen energheian tau kratos tees iskhyos autou = menurut energi dari kuasa kekuatanNya), yang dikerjakanNya (heen eneergheesen = yang dienergikan) di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati…” (Ef 1:19-20).

Menurut ayat ini "kuasa yang bekerja didalam kita", adalah kuasa yang sama yang perna bekerja dalam membangklitkan Yesus Kristus dari antara orang mati. Dan kuasa itu bekerja “menurut energi dari kuasa kekuatanNya”. Berarti Energi Ilahi”lah yang bekerja dalam “meng-energi-kan” kebangkitan Yesus Kristus, dan Energi Ilahi yang sama ini yang sekarang bekerja di dalam kita.
Berarti kita mengalami Allah melalui “Energi Ilahi” ini oleh karya Roh Kudus, didalam nama Yesus Kristus. Karena yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “kemuliaan Bapa”, namun juga “Menurut Energi” Allah berarti, “Kemuliaan Bapa” itu tak lain adalah “Energi Allah” sendiri. Disamping “Kemuliaan Bapa” atau “Energi Ilahi” tak tercipta ini dapat melakukan perbuatan-perbuatan mukjizat, energi ilahi ini juga menampakkan diri dalam nama aslinya sebagai “Kemuliaan” yaitu “cahaya yang bersinar” sebagaimana yang dikatakan :

“…Yesus berubah rupa..wajahNya bercahaya seperti matahari dan pakaianNya menjadi putih bersinar seperti terang …”(Mat 17:2)

…Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaianNya sangat putih berkilat-kilat…” (Mark 9:2-3)

Ketika sedang berdoa, rupa wajahNya berubah dan pakaianNya menjadi putih berkilauan-kilauan…” (Luk 9:29)

Dan pengalaman perubahrupaan Yesus ini dinyatakan oleh Petrus yang melihatnya sendiri sebagai “kehormatan dan kemuliaan dari Allah” (II Pet 1:17-18), yang akan nampak juga nanti pada waktu kedatanganNya (II Pet 1:16). Padahal kedatangan itu adalah kedatangan dalam “kemuliaan” (Kol 3:4), yang tak lain adalah berwujud cahaya atau api yang menyala-nyala (II Tes 1:7).
Berarti cahaya seperti matahari, yang putih bersinar seperti terang berkilat-kilat dan berkilauan-kilauan itu tak lain adalah wujud penampakan diri dari kemuliaan Allah sendiri yang tak lain adalah penampakan dari “Terang Tak Tercipta” atau “Energi Ilahi”. Dan “Terang Tak Tercipta” inilah yang nanti akan menampakkan Diri pada kerajaan Bapa atas orang-orang beriman, yang akan bercahaya seperti matahari. (Mat 13:43). Inilah yang disebut pemulihan atau dalam Iman Kristen Orthodox disebut sebagai Theosis” atau pengilahian yaitu “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” (II Pet 1;4).
Namun juga yang dapat dialami sekarang oleh para Orang Kudus, sebagai “Pengalaman Terang Tak Tercipta” namun yang bukan “Theosis” itu sendiri baik sebagai sinar yang dilihat sebagai kemuliaan ilahi (Kis 7:55-56, 9:3-6, Wah 1:12-16), dan beberapa pengalaman Theofani Perjanjian Lama maupun cahaya yang bersinar dari dalam tubuh mereka seperti halnya pemuliaan Yesus diatas gunung itu (Kis 7:15, Kel 33:33). Inilah yang dialami oleh para Kudus dalam Gereja itu. Jadi energi ilahi ini adalah “kasih karunia” (kharis) dari Allah sendiri, yang mengalir keluar dari Essensi Ilahi, yang disalurkan kepada kita oleh Karya Kalimatullah di dalam Roh Kudus sendiri.

“Kasih Karunia” dalam Gereja Orthodox adalah “energi ilahi” yang bekerja di dalam diri orang beriman akibat manunggal dalam iman kepada kemanusiaan Yesus Kristus yang telah dimuliakan di sorga itu. Jadi dalam Iman Kristen Orthodox “kasih karunia” itu dimengerti secara dinamis. Dari luar “kasih karunia” adalah hadiah cuma-Cuma dari Allah yang menerima manusia berdosa menjadi orang-orang kudus akibat karya korban dan kebangkitan Yesus Kristus, tanpa memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran mereka di masa lalu.
Namun “kasih karunia” itu juga “energi ilahi” yang bekerja didalam manusia percaya akibat karya Roh Kudus untuk secarah fakta menjadikan manusia berdosa itu betul mengalami pengudusan sehingga ia menjadi orang kudus bukan hanya dalam status dan posisi saja, namun juga dalam realita, sehingga ia mencapai “theosis” tadi.
Jadi manunggal kepada Allah itu bukan berarti melebur kedalam “essensi ilahi” secara “pantheitis” sebagaimana yang dimengerti agama Hindu atau Kebatinan Jawa, namun menunggal dalam kemuliaan atau energi Allah. Dalam “energi Allah” inilah manusia betul-betul mengalami panunggalan dengan Allah itu melalui Iman kepada Yesus Kristus di dalam Roh Kudus.

Sifat-sifat & Keberadaan (Wujud) Allah

Oleh : Romo Yohanes Bambang,MTS.

Dalam pembicaraan kita mengenai dzat-hakekat/essensi/ousia Allah yang kita jumpai hanya kegelapan misteri dari keghaiban Ilahi, serta dalam pembicaraan kita mengenmai wujud (keberadaan) Allah, kita diperhadapkan kepada keluhuran dan kemuliaan keberadaan Allah yang sebenar-benarnya yang diluar jangkauan makhluk (ciptaan). Disitu kita menjumpai betapa terbatasnya pemahaman kita untuk dapat menjangkau kedahsyatan luhuran Allah itu. Dan jika dzat-hakekat dan wujudNya saja yang kita renungkan pastilah kita tak akan dapat mengerti apapun tentang Allah. Namun syukurlah bahwa Allah bukan hanya Allah yang menyembunyikan Diri dalam keghaibanNya namun juga Allah yang menyatakan Diri dalam pewahyuan Dirinya. Melalui pernyataan Diri Allah ini meskipun hakekat-wujud Allah yang sebenarnya masih merupakan misteri bagi kita, namun dari pernyataan SabdaNya, tindakan-tindakan mukjizatNya, pernyataan pemeliharaan dan penghukumanNya atas umatNya kita dapat mengerti Allah itu melalui sifat-sifat Allah yang dinyatakan melalui pernyataan Diriya itulah kita dapat mengerti keberadaan Allah irtu terutama dalam hubunganNya dengan makhlukNya, terlebih-lebih kepada manusia dan lebih khusus lagi kepada ummat yang beriman kepadaNya.

Memang kita tak dapat membayangkan atau mereka-reka bagaimana keberadaan wujud Allah itu yang sebenarnya, karena keberadaanNya yang ghaib itu. Dan juga memang dalam essensi yang sebenarnya kita tak dapat mengerti tentang Allah itu. Ini tak berarti kita tak dapat mengerti sama sekali keberadaan tentang Allah, seolah-olah tak ada keterangan sedikitpun. Syukur kapada Allah, bahwa melalui wahyuNya sebagaimana yang dicatat oleh Alkitab, kita mendapatkan keterangan serba sedikit mengenai Allah itu, sejauh apa yang dinyatakan oleh Kitab Suci. Dengan demikian kita dapat mengambil bebarapa kesimpulan tentang bagaimana keberadaan (wujud) Allah itu dapat kita fahami. Beberapa ayat Kitab Suci dibawah ini akan memberikan keterangan kepada kita mengenai hal itu :

“…Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia…” (Hosea 11:9).

…Allah adalah Terang (Cahaya, Nur) dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan. (I Yoh 1:5).

Dialah satu-satuNya yang tidak takhluk pada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri…” (I Tim 6:16).

“Allah itu Roh…” (Yoh 4:24), dan sifat Roh itu adalah : “…hantu (Spirit = Roh ) tidak ada daging dan tidak ada tulangnya…” ( Luk 24:39 ). Dari beberapa ayat diatas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan bahwa Allah itu bukan manusia. Dia adalah Roh artinya ghaib, dengan keberadaan ghaib itu maka Dia itu tak memiliki tubuh jasmani yang terdiri dari tulang dan daging. Allah itu bukan organisme bukan pula benda, biarpun benda yang paling halus sekalipun. Dia bukan zat (cair, padat, gas). Dia bersifat Nur atau Cahaya sehingga tempat bersemayamNya atau kemuliaan yang mengelilingi DiriNya itu adalah berupa “Terang yang tak dapat dihampiri” yaitu Nur tak tercipta. Dia pula disebut “tak takhluk pada maut” artinya essensinya Dirinya itu adalah hidup murni yang tidak pernah mengalami pertumbuhan atau penyusutan. Yang tidak pernah mengalami kelahiran ataupun kematian. Sebab yang Ghaib dan yang Roh bagaimana mengalami penyusutan dan kematian, serta bagaimana memiliki permulaan secara dilahirkan.
Allah adalah hidup murni yang berdiri sendiri. Itulah sebabnya Dia itu kekal tak berawal akhir, hadir dimana-mana (Maz 139:7-12) tak dibatasi tempat, pengetahuaannnya menembus segala sesuatu tak dibatasi oleh kebodohan atau ketidak-tahuan (Maz 139:1-6), Dia merembesi segala sesuatu tanpa jadi identik yang dirembesi (Kis 17:27-28). Dia kekal tanpa dibatasi waktu (Maz 90:1-2), serta Dia itu pribadi yang mandiri dan berdiri pada DiriNya sendiri dengan menyatakan DiriNya sebagai “Akulah Aku” (Kel 3:14).
Demikianlah beberapa indikasi Alkitab mengenai bagaimana wujud (keberadaan) Allah yang dapat kita mengerti, meskipun pada akhirnya kita masih tetap tidak mengerti realita yang sebenarnya. Kita bersyukur bahwa kita memiliki Allah yang mengatasi pemahaman kita ini. Karena itu menunjukkan bahwa Dia itu bukan buah karangan otak manusia namun sebagai realita yang mandiri dan tak tercipta namun yang menciptakan segala sesuatu, Dia ada tanpa diadakan meskipun Dia mengadakan segala sesuatu. Itulah keberadaan Allah itu.

Minggu, 28 Juli 2013

Pendekatan "Pem-BUKAN-an" [Pendekatan pemahaman Hakikat Allah]

Oleh : Romo Yohanes Bambang, MTS.

Karena dzat hakekat Allah adalah misteri maka kategori yang kita kenakan pada makhluk tak akan berlaku bagi Allah. Itulah sebabnya di dalam Iman Kristen Orthodox terdapat suatu pendekatan theologies yang disebut pendekatan “pem-bukan-an” atau pendekatan “apophatika” didalam membicarakan keberadaan Allah itu.

Artinya kita tidak bisa mengatakan mengenai dzat hakekat Allah itu secara pasti begini atau begitu, sebab kategori dan bahasa yang kita gunakan untuk mengatakan dzat hakekat Allah yang sebenarnya itu, berasal dari apa yang kita dapatkan dan kita alami di dalam dunia ini, padahal Allah bukan dari dunia, bukan makhluk (ciptaan), serta mengatasi segala ciptaanNya.
Dengan demikian apa-apa yang kita sifatkan kepada Allah terutama mengenai dzat hakekatNya itu tidak akan persis sama keberadaannya dengan apa yang sebenarnya ada pada Allah. Karena Allah itu lebih tinggi dan lebih mulia dibanding dengan sebutan atau segalah istilah yang kita tahu dalam dunia ini. Saehingga jika dalam alam makhluk itu ada jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan juga bukan banci dan Ia bukan keadaan yang dibatasi oleh jenis kelamin itu. Pada pokoknya apa yang ada didalam sifat alam mitu kita tidak dapat mempergunakan kepada sifat Allah. Oleh karena itu segala sesuatu yangada didalam alam ciptaan ini kala ia hendak kita kenakan kepada Allah itu haruslah kita tambahai “bukan”. Inilah yang disebut Theologi “Pem’bukan’an”.
Jadi Allah itu bukan kuning, bukan putih, bukan besar, bukan kecil, bukan tua, bukan muda, dan lain-lain. Sifat-sifat dari hakekat Allah itu tidak mungkin kita katakana secara bahasa positif karena dari kekal azali sampai kekal abadi dzat hakekat Allah itu akan tetap demikian dan tetap akan menjadi rahasia bagi manusia. Karena Allah itu dalam hakekatNya bersifat misteri, maka aqidah Iman Kristen Orthodox menegaskan bahwa pendekatan yang harus dilakukan dalam membahas kodrat serta dzat hakekat Allah yang tak terselami dan tak terselidiki harusl;ah dengan pendekatan “via negative” atau “apopathic approach” yaitu “pendekatan pem-bukan-an” yang kita sebut di atas tadi. Artinya kita hanya dapat berbicara mengenai “yang bukan” dari dzat hakekat Allah itu, sebab apa yang sebenarnya dari dzatullah itu sungguh kita sama sekali tak mengertinya. Misalnya : Allah itu bukan laki-laki, bukan perempuan, dan bukan banci-jadi Allah itu adalah Allah; Allah itu bukan seperti malaikat, bukan seperti manusia, bukan seperti binatang, bukan seperti tumbuh-tumbuhan daqn bukan seperti fenomena tercipta apapun-jadi Allah itu adalah seperti DiriNya sendiri; Allah itu bukan tempat (bukan maqam), bukan waktu (bukan zaman), jadi Allah itu adalah DiriNya sendiri dan seterusnya. Dengan demikian kita tidak salah dan berdosa mensifatkan secara jasad atau yang mirip dengan makhluk mengenai Allah, yang pasti hal itu tidak akan tepat dengan realita dzatullah (essensi ilahi) itu sendiri. Sebab jika kita salah mensifatkan bisa jadi malahan kita menghujat dan bukan meluhurkan Allah Yang Maha Kudus itu. Begitu pula dengan pendekatan pem-bukan-an (via negative, apopathic approach) ini kita tidak akan terjebak dalam usaha menurunkan Allah dalam derajad makhluk melalui pensifatan dengan katogori-katogori manusia dengan sifat-sifat manusia yang tidak layak bagi essensi dan hakakat Allah yang Maha Agung itu. Selanjutnya melalui membiarkan Allah sebagai mana adanya akan mengangkat kita masuk dan tenggelam dalam misteri Ilahi itu sendiri serta mengangkat kita dari keterbatassan kemakhlukan kita untuk menyelam ketidak terbatasan Ilahi, sehingga kita dilepaskan dari ikatan-ikatan yang mempersempit pandangan kita akan realita, untuk memperluas diri dalam keluasan dzatullah (essensi ilahi) yang tak terbatas itu.

Maka Pendekatan Pem”bukan”an atau Theologi Apopathika adalah suatu pendekatan yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah dari sisi “bukan”Nya daripadaya”Nya. Dengan mendekati Allah secara Pem”bukan”an ini kita dihindarkan dari kesalahan untuk mereka-reka Allah menurut apa yang kita mengerti dengan akal kita. Karena Allah yang dapat kita mengerti dengan akal kita, berarti bukan Allah. Mengkhyalkan Allah menurut sifat-sifat yang kita ada-adakan bagi Dia itu adalah suatu “Dewa” ciptaan dari pikiran kita. Karena Allah itu yang menciptakan pikiran kita, menciptakan anganm-angan kita, menciptakan pengertian kita, oleh karena itu Dia harus lebih tinggi dari pada apa yang dapt kita mengerti.

Gereja Barat terbiasa mendekati Allah itu dengan pendekatan “via positive” atau “pendekatan alternative” yaitu “cataphatic approach”. Artinya secara akademis filosopfis mereka memberikan katagori kepada Allah berdasarkan analisa-analisa akali dari kumpulan data-data yang dibahas secara filsafati. Sehingga pendekatan lebih bersifat analis rasionalitis dari pada sifat mistik (rohani). Tempat misteri banyak dikorbankan deemi menekankan yang rasianalitis. Sedangkan Gereja Orthodox meskipun menekankan pengertian yang masuk akal dan logis namun masih membuka lebar bagi misteri ilahi, sehingga pendekatan apopathic itulah yang dilaluinya. Meskipun juga bahasa-bahasa positif mengenai Allah dalam Gereja Orthodox, namun harus tetap disadari itu hanya symbol saja dari realita sebenarnya, yang pada hakekatnya tak kita ketahui.

Jadi dalam pembicaraan kita tentang dzat/hakekat/essensi Allah yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai “ousia” hanya misteri yang tak terpecahkan yang kita jumpai.